Friday, February 4, 2011

FATWA A`IMMAH SEPUTAR MANHAJ AL MUWAZANAH


FATWA PARA ULAMA SEPUTAR MANHAJ AL MUWAZANAH

Para tokoh hizbiyyah dan sururiyyah telah berlebihan dalam merealisasikan slogan mereka itu, namum terdapat tokoh mereka yang menentang manhaj ini , sebelum adanya fatwa para ulama. Lagi-lagi Ali Asymawi mengatakan: “Untuk itu, aku melihat bahwa sekaranglah saatnya memberi peringatan dan membuka jendela-jendela, agar sinar mentari dan udara segar akan masuk ke lorong-lorong jamaah (IM) yang telah gelap dan membusuk baunya. Dan juga, agar pengalaman hidupku bersama mereka dapat menjadi pelajaran berharga bagi para pemuda untuk tidak tersilap dalam mencari jalan hidupnya, menimbang secara matang ke mana kakinya hendak dilangkahkan, dan tidak mudah hanyut dalam memberikan wala` dan ketaatannya pada siapapun… Kerana Allah Azza Wa Jalla telah mengurniakan kita akal fikiran sebagai kehormatan bagi manusia. Tidaklah sepantasnya kita menyia-nyiakannya, agar tidak mudah dijadikan dipermainkan oleh siapa pun dan bergerak di bawah slogan apapun.” (At-Tarikh As-Sirri Lijama’atil Ikhwanil Muslimin, hal. 4. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 76)

Adapun fatwa para ulama, antara lain:

1. Fatwa Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Beliau berkata: “Ya, wajib untuk saling tolong-menolong dalam perkara-perkara yang disepakati berupa kebenaran, dakwah kepada kebenaran tersebut dan memperingatkan (umat manusia) dari apa yang dilarang Allah Azza Wa Jalla dan Rasul-Nya. Adapun saling toleransi dalam perkara yang diperselisihkan, maka tidak dibenarkan secara mutlak, bahkan harus diperdetailkan. (Yaitu) di saat perkara tersebut termasuk masalah ijtihad yang tidak ada dalilnya secara jelas, maka tidak boleh di antara kita saling mengingkari. Sedangkan bila perkara tersebut jelas-jelas menyelisihi nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka wajib diingkari dengan hikmah, nasihat dan muzakarah dengan cara terbaik.” (Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 3/58-59. Lihat Zajrul Mutahawin Bidharari Qa’idah Al-Ma’dzirah wat Ta’awun, karya Hamd bin Ibrahim Al-Utsman, hal. 128)

2. Fatwa Asy-Syaikh Al-Albani Rohimahulloh
.
Beliau berkata ketika mengkritik para pengusung slogan di atas: “Merekalah orang yang pertama kali menyelisihinya. Kami yakin bahwa penggalan (pertama, -pen.) dari slogan tersebut benar, yaitu ‘(Mari) kita saling tolong-menolong dalam perkara-perkara yang disepakati’. Ini tentunya dipetik dari firman Alloh Azza Wa Jalla:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِّرِ وَالتَّقْوَى

“Saling tolong-menolonglah dalam perkara kebaikan dan ketaqwaan.” (Al-Ma`idah: 2)

Adapun penggalan kedua ‘Dan saling toleransi dalam perkara-perkara yang diperselisihkan’, maka harus dipertegas… Bila? (Yaitu) ketika kita saling menasihati. Dan kita katakan kepada yang berbuat kesalahan: ‘Engkau salah, dalilnya adalah demikian dan demikian.’ Bila dia belum puas dan kita lihat dia seorang yang ikhlas (pencari kebenaran, -pen.) maka kita toleran dengan dia, dan saling tolong-menolong dengannya dalam perkara-perkara yang disepakati. Adapun bila dia seorang penentang kebenaran lagi sombong dan berpaling darinya, maka saat itulah tidak berlaku penggalan kedua dari slogan tersebut dan tidak ada toleransi di antara kita dalam perkara yang diperselisihkan itu.” (Majalah Al-Furqan, Kuwait, edisi 77, hal. 22. Lihat Zajrul Mutahawin, hal. 130)

3. Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin ‘ Utsaimin Rohimahulloh
.
Beliau berkata: “Slogan mereka ‘(Mari) kita saling tolong-menolong dalam perkara-perkara yang disepakati’, ini benar. Adapun ‘Dan saling toleransi dalam perkara-perkara yang diperselisihkan’, maka ini harus diperdetailkan:

Bila termasuk perkara ijtihad yang memang dibolehkan berbeza, maka hendaknya kita saling toleransi, dan tidak boleh ada sesuatu di hati karena perbedaan tersebut.

Adapun bila termasuk perkara yang tertutup pintu ijtihad, maka kita tidak boleh toleransi kepada orang yang menyelisihinya. Dan diapun harus tunduk kepada kebenaran. Jadi bagian pertama benar, sedangkan bagian akhir harus diperdetailkan.” (Ash-Shahwah Al-Islamiyyah, Dhawabith Wa Taujihat, I/218-219. Lihat Zajrul Mutahawin, hal. 129)

No comments:

Post a Comment