Thursday, November 12, 2009

INILAH PRINSIP DAKWAH KAMI


1. Kembali kepada Al Qur'an dan As-Sunnah An-Nabawiyah yang shahih dengan pemahaman Salafush Shalih Radhiyallahu ‘Anhum sebagai pengamalan firman Allah 'Azza wajalla,وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيراً“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. (Qs. An-Nisaa: 115)
Dan juga sebagai implementasi dari firman Allah Ta'ala:

فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Qs. Al Baqarah: 137)


2. Tashfiyah / mensucikan kehidupan kaum muslimin dari noda-noda kesyirikan dalam berbagai bentuknya, memperingatkan dari bid'ah yang mungkar dan pemikiran-pemikiran batil yang menyusup ke dalam tubuh kaum muslimin, membersihkan sunnah nabi dari riwayat-riwayat dha'if dan palsu yang mengotori kemurnian islam dan menghambat kemajuan kaum muslimin demi menunaikan amanah ilmiyah seperti sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam,

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ المْبُطْلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الجْاَهِلِيْنَ
“Agama ini dibawa pada setiap penerusnya oleh orang-oang adilnya, mereka melenyapkan penyimpangan orang-orang yang melampau batas dan tipu daya para pengekor kebatianl serta menghilangkan takwilnya orang-orang jahil”.



Juga sebagai realisasi firman Allah Ta'ala :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الْأِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (Qs. Al Maidah: 2)



3. Membina kaum muslimin di atas agama mereka yang haq, mengajak mereka untuk mengamalkan hukum-hukum agama islam dan berhias diri dengan keutamaan dan akhlak islam. Yang demikian akan memberikan jaminan untuk mendapatkan ridha Allah dan merealisasikan kebahagian dan keluhuran. Itu semua merupakan bentuk perwujudan sifat yang Allah sematkan terhadap kelompok yang selamat dari kerugian,

وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Dan mereka saling mewasiatkan dengan kebenaran dan kesabaran”. (Qs. Al Ashar: 3)



Dan juga sebagai ketundukan terhadap perintah Allah Ta'ala,

وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ

“Akan tetapi (dia berkata):"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Alkitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”. (Qs. Ali Imran: 79)



4. Menghidupkan metode ilmiyah yang islami dan benar dengan bimbingan Al Qur'an dan As-Sunnah di atas manhaj Salafush Shalih, dan melenyapkan kebekuan taqlid madzhab serta membuang fanatik hizbi (kelompok) yang membelenggu akal kebanyakan kaum muslimin. Serta mewujudkan ukhuwah islamiyah diatas akidah dan manhaj Ahlus Sunnah sebagai pelaksanaan terhadap firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعاً وَلا تَفَرَّقُوا (آل عمران:103)

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai”. (Qs. Ali Imran: 103)



Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam:

كُوْنوُاْ عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً
“Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara”.



5. Tidak memprovokasi kaum muslimin untuk melawan pemerintahnya meski mereka zalim, tidak melalui mimbar-mimbar khutbah atau pun melalui sarana-sarana lainnya, karena yang demikian menyelisihi sunnah Salafus Shalih, juga sebagai aplikasi dari sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِيْهِ عَلاَنِيَةً وَلْيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَإِنْ سَمِعَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barangsiapa ingin menasihati penguasa maka janganlah menampakkannya terang-terangan di hadapan massa, namun gaetlah tangannya (yakni dengan empat mata / rahasia), jika dia mau mendengar maka itulah (yang diharapkan), jika tidak mau mendengarnya maka dia telah menunaikan kewajibannya”.

Inilah prinsip dakwah kita.


http://ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=1
الوجيز في منهج السلف
للشيخ: عبد القادر الأرناؤوط

AL-WAJIZ FI MANHAJIS SALAF
(KERINGKASAN DI DALAM MANHAJ SALAF)

Oleh:
asy-Syaikh Abdul Qodir al-Arna`uth Rahimahullahu

Definisi al-Wajiz secara etimologi:

Jika dikatakan: أوجز الكلام bererti memendekkan dan menjadikannya sedikit, iaitu اختصره (meringkasnya), dan kalimatnya pendek dan ringkas. الوَجْز: Perkataan dan perkara yang ringan dan sederhana. Serta الوَجْز: sesuatu yang ringkas seperti al-Wajiz.

Definisi al-Manhaj secara etimologi dan terminologi:

النهج، والمنهج، والمنهاج

Ertinya adalah: jalan yang nyata dan terang. Allah Taala berfirman di dalam Kitab-Nya al-Aziz:

لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا

“Untuk tiap-tiap ummat diantara kamu, kami berikan syariat dan manhaj (al-Maidah: 48)”, iaitu: Syariat dan jalan yang terang lagi jelas.

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan bagi tiap-tiap ummat syariat dan manhaj, Ahli Taurat memiliki syariat sendiri, Ahli Injil memiliki syariat sendiri demikian pula dengan Ahli al-Qur'an. Mereka memiliki syariat-syariat yang berbeza di dalam masalah hukum namun bersepakat di dalam masalah Tauhid (mengesakan) Allah Azza wa Jalla. Sebagaimana sabda nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam:

أنا أولى الناس بعيسى بن مريم في الدنيا والآخرة، الأنبياء إخوة لعلاّت، أمهاتهم شتى، ودينهم واحد، وليس بيني وبين عيسى نبي

“Aku adalah manusia yang lebih utama dibandingkan Isa bin Maryam di dunia dan akhirat, para nabi seluruhnya bersaudara sebapak, namun ibu-ibu mereka berbeza-beza, agama mereka adalah satu serta tidak ada nabi antara diriku dengan Isa.” Hadits Riwayat Bukhari dalam Shahih-nya, Kitabul Anbiya’, bab wadzkur fil Kitaabi Maryaam dan Muslim di dalam shahih-nya no. 2365 dalam kitab al-Fadla`il, bab Fadlu Isa ‘alaihi as-Salam dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.

Ertinya yaitu, mereka semua bersepakat di dalam pokok tauhid kepada Allah Azza wa Jalla, adapun masalah furu’ (cabang-cabang) syariat, di dalamnya terdapat perbezaan dan syariat-syariat mereka beraneka ragam. Allah Taala berfirman kepada nabi-Nya di dalam Kitab-Nya yang mulia:

وما أرسلنا من قبلك من رسول إلا نوحي إليه أنه لا إله إلا أنا فاعبدون

“ Dan tidaklah kami utus para nabi sebelummu, melainkan kami wahyukan kepadanya bahwasanya tiada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali Aku maka sembahlah Aku. (al-Anbiyaa: 25)”
, dan firman-Nya:

ولقد بعثنا في كل أمة رسولا أن اعبدوا الله واجتنبوا الطاغوت

“Dan sungguh telah kami utus seorang rasul pada setiap ummat untuk menyeru agar menyembah Allah semata dan menjauhi thaghut. (an-Nahl: 36).

Ini semua di dalam mentauhidkan Allah Azza wa Jalla, adapun syariatnya berbeza-beza perintah dan larangannya.

Definisi Salaf secara etimologi dan terminologi:

As-Salafالسلف memiliki erti: ما مضى وتقدم (yang telah berlalu dan terdahulu). Jika dikatakan سلف الشيء سَلَفا: ertinya adalah مضى (yang telah lewat), jika dikatakan سلف فلان سلفا ertinya adalah المتقدم (yang telah berlalu/terdahulu), dan as-Salif السالف bererti: المتقدم (pendahulu). Sedangkan as-Salaf bermakna: الجماعة المتقدمون (sekumpulan orang yang terdahulu).

Salaf juga bererti: القوم المتقدمون في السير (orang-orang yang mendahului di dalam perjalanan hidup). Allah Taala berfirman di dalam Kitab-Nya yang Aziz:

فلما آسفونا انتقمنا منهم فأغرقناهم أجمعين، فجعلناهم سلفا ومثلا للآخرين

“Maka tatkala mereka membuat kami murka, kami hukum mereka lalu kami tenggelamkan mereka semuanya, dan kami jadikan mereka sebagai salaf (pelajaran) dan contoh bagi orang-orang kemudian. (az-Zukhruf: 55-56)”,

yang maknanya: Tatkala mereka menyebabkan kami marah maka kami hukum mereka dan kami tenggelamkan mereka semuanya, dan kami jadikan mereka sebagai salafan mutaqodimiin (contoh orang-orang terdahulu) bagi orang-orang yang melakukan perbuatan mereka, agar orang-orang setelah mereka dapat mengambil pelajaran dan menjadikan mereka sebagai peringatan bagi lainnya.

Salaf juga bererti: كل عمل صالح قدّمته (Setiap amal shalih yang terdahulu), jika dikatakan: قد سلف له عمل صالح amal shalihnya telah berlalu. Dan salaf adalah من تقدمك من آبائك وذوي قرابتك الذين هم فوقك في السن والفضل orang-orang yang mendahuluimu dari bapak-bapakmu dan kaum kerabatmu yang mereka di atasmu dalam hal usia dan keutamaan, seorang dari mereka disebut سالف saalifun.

Seperti perkataan Thufail al-Ghonawi yang meratapi kaumnya:

مضوا سلفا قصد السبيل عليهم
وصرف المنايا بالرجال تقلّب

Pendahulu kita telah lewat dan kitapun akan mengikuti mereka

Kita akan menjadi sepertinya terhadap orang-orang setelah kita

Yaitu, kita akan mati sebagaimana mereka mati, dan kita akan menjadi salaf (pendahulu) bagi orang-orang setelah kita sebagaimana mereka menjadi salaf bagi kita.

Dari al-Hasan al-Bashri, beliau berdoa di dalam sholat Jenazah terhadap anak kecil: اللهم اجعله لنا سلفا Ya Allah jadikanlah dia salaf bagi kami. Oleh karena itulah, generasi pertama dinamakan dengan as-Salaf ash-Sholih.

Rasulullah, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, mereka adalah salaful ummah (pendahulu ummat), dan siapa saja yang menyeru kepada apa yang diserukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, mereka juga salaful ummah. Serta siapa saja yang menyeru kepada apa yang diserukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka mereka berada di atas manhaj as-Salaf ash-Sholih. Maka wajib bagi setiap muslim untuk ittiba (mengikuti) al-Qur'an al-Karim dan as-Sunnah al-Muthoharoh dengan mengembalikannya kepada pemahaman as-Salaf ash-Shalih ridlwanullahu alaihim ajmain, karena mereka adalah kaum yang lebih berhak untuk ditiru/diikuti, karena mereka adalah orang-orang yang paling benar keimanannya, yang kuat aqidahnya dan yang paling ikhlash ibadahnya.

Imamnya as-Salaf ash-Shalih adalah Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam yang mana Allah Taala memerintahkan kita untuk mengikuti beliau di dalam Kitab-Nya dengan firman-Nya:

وما آتاكم الرسول فخذوه، وما نهاكم عنه فانتهوا

Apa yang diberikan Rasul padamu maka ambillah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (al-Hasyr: 7).

Baginda adalah Uswah Hasanah (suri tauladan yang baik) dan Qudwah Shalihah (suri tauladan yang shalih), Allah Taala berfirman:

لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الآخر وذكر الله كثيرا

Telah ada suri tauladan yang baik bagi kalian pada diri Rasulullah bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah dan kedatangan hari akhir dan dia banyak menyebut Allah. (al-Ahzab: 21).

Baginda adalah orang yang berbicara dengan wahyu dari langit, Allah Taala berfirman:

وما ينطق عن الهوى إن هو إلا وحي يوحى

Dia tidaklah berbicara dari hawa nafsu melainkan dengan wahyu yang diwahyukan padanya (an-Najm: 3-4).

Allah Taala juga memerintahkan kita untuk menjadikan diri beliau sebagai hakim di dalam segala perkara hidup kita, firman-Nya:

فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجا مما قضيت ويسلموا تسليما

Maka demi Tuhanmu, sesungguhnya pada hakikatnya mereka tidak beriman hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim terhadap perselsihan yang terjadi diantara mereka, kemudian mereka tidak merasa berat di dalam hati dan mereka menerima dengan pasrah. (an-Nisa: 65).

Allah Taala juga memperingatkan kita supaya tidak menyelisihinya dengan firman-Nya:

فليحذر الذين يخالفون عن أمره أن تصيبهم فتنة أو يصيبهم عذاب أليم

Maka hendaknya orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cubaan atau ditimpakan azab yang pedih. (an-Nuur: 63).

Adapun referensi para salaf shalih ketika berselisih adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Allah Taala berfirman:

فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا

Jika kalian berselisih tentang segala sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian ini lebih utama dan lebih baik akibatnya. (an-Nisa: 59)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam adalah penyampai risalah dari Rab-nya dan pemberi penjelasan bagi Kitab-Nya. Allah Taala berfirman:

وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزّل إليهم

Dan kami turunkan al-Qur'an kepadamu, supaya engkau menjelaskan kepada manusia tentang apa yang diturunkan kepada mereka. (an-Nahl: 44)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين، عضّوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل بدعة ضلالة
Maka peganglah sunnahku dan sunnah para khalifah yang lurus dan mendapat petunjuk, gigitlah dengan gigi gerahammu, dan jauhilah olehmu perkara-perkara yang baru, karena setiap bidah itu sesat.

Seutama-utama salaf (pendahulu) setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam adalah para sahabat, yang mereka mengambil agama mereka langsung/terus dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dengan kejujuran dan keikhlasan, sebagaimana Allah mensifati mereka di dalam kitab-Nya dengan firman-Nya:

من المؤمنين رجال صدقوا ما عاهدوا الله عليه فمنهم من قضى نحبه ومنهم من ينتظر وما بدلوا تبديلا
Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka diantara mereka ada yang gugur dan ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya. (al-Ahzab: 23)

Mereka adalah orang yang mengamalkan perbuatan kebajikan sebagaimana yang Allah Taala sebutkan di dalam Kitab-Nya dalam firman-Nya:

ولكن البر من آمن بالله واليوم الآخر والملائكة والكتاب والنبيين، وآتى المال على حبه ذوي القربى واليتامى والمساكين وابن السبيل والسائلين وفي الرقاب وأقام الصلاة وآتى الزكاة والموفون بعهدهم إذا عاهدوا والصابرين في البأساء والضراء وحين البأس أولئك الذين صدقوا وأولئك هم المتقون
Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir dan orang-orang yang meminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan solat, menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janji apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan peperangan. Mereka itulah orang-orang yang bena imannya, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (al-Baqarah: 177)

Ayat ini adalah ayat tadayyun yang menunjukkan cara beragama yang benar yang para sahabat radhiyallahu anhum mensifatkannya. Kitabullah adalah dustur (undang-undang) dan nizham (peraturan) mereka, kemudian setelah itu as-Sunnah, yang merupakan ilmu yang paling berkah, yang paling utama dan paling banyak manfaatnya baik di dunia dan akhirat setelah Kitabullah Azza wa Jalla. As-Sunnah bagaikan taman-taman dan kebun-kebun, yang kau dapatkan di dalamnya kebaikan dan kebajikan. Kemudian setelah as-Sunnah adalah apa yang disepakati atasnya (ijma) salaful ummah dan para imam mereka.

As-Salaf ash-Shalih juga merupakan generasi (kurun) terbaik yang paling utama sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dalam haditsnya:

خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم
Sebaik-baik manusia adalah pada generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya.

Dan sabdanya:

ثم يكون بعدهم قوم يشهدون ولا يستشهدون، ويخونون ولا يُؤتمنون، وينذرون ولا يوفون، ويظهر فيهم السـِّمَنُ
Kemudian akan datang suatu kaum setelah mereka bersaksi namun tidak diminta kesaksiannya, mereka berkhianat dan tidak dipercaya, mereka bernadzar namun tak pernah memenuhinya, dan tampak kegemukan pada mereka.

Ushuluddin (Pokok agama) yang dipegang teguh oleh para imam agama, ulama islam dan salaf shalih yang terdahulu, dan menyeru manusia kepadanya, adalah: mereka mengimani al-Kitab dan as-Sunnah secara global (ijmal) dan terperinci (tafshil), mereka bersaksi akan ke-esaan (wahdaniyah) Allah Azza wa Jalla dan bersaksi akan Nubuwah dan Risalah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Mereka mengenal Rabb mereka dengan sifat-Nya yang dipaparkan oleh wahyu-Nya dan risalah-Nya, atau yang dipersaksikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dari berita yang datang dari khobar shahih dan dinukil oleh orang yang adil dan tsiqoh. Mereka menetapkan bagi Allah Azza wa Jalla apa yang Allah tetapkan bagi diri-Nya sendiri di dalam Kitab-Nya, atau yang ditetapkan lisan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, tanpa melakukan tasybih (penyerupaan) terhadap makhluk-Nya, tanpa takyif (menggambarkan kaifiyatnya), tanpa tathil (meniadakan seluruh sifat-Nya), tanpa tahrif (memalingkan makna-Nya kepada makna yang bathil), tanpa tabdil (merubah maknanya) dan tanpa tamtsil (membuat contoh seperti makhluk). Allah Taala berfirman:

ليس كمثله شيء وهو السميع البصير

Tiada yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (asy-Syuraa: 11)

Imam az-Zuhri berkata:

على الله البيان، وعلى الرسول البلاغ، وعلينا التسليم

Hak Allah untuk menerangkan, dan hak Rasul untuk menyampaikan dan kewajiban kita untuk menerima pasrah.

Imam Sufyan bin Uyainah berkata:

كل ما وصف الله تعالى به نفسه في كتابه، فتفسيره تلاوته والسكوت عنه

Setiap apa yang disifatkan oleh Allah Taala terhadap diri-Nya di dalam Kitab-Nya maka penjelasannya (tafsirnya) adalah bacaannya dan kita diam dari (memperbincangkan)nya.

Imam asy-Syafii berkata:

آمنت بالله، وبما جاء عن الله، على مراد الله، وآمنت برسول الله، وبما جاء عن رسول الله، على مراد رسول الله

Aku beriman kepada Allah, dan terhadap apapun yang datang dari Allah dengan apa yang dikehendaki Allah. Dan aku beriman kepada Rasulullah, dan terhadap apapun yang datang dari Rasulullah dengan apa yang dikehendaki Rasulullah.

Di atas inilah para salaf dan para imam kholaf Radhiyallahu anhum berjalan, seluruhnya bersepakat untuk mengikrarkan dan menetapkan segala sifat Allah yang datang dari Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya tanpa menentang dengan mentakwilnya, kita diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka dan berpedoman dengan cahaya mereka.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah memperingatkan kita dari perkara-perkara baru (muhdats), dan memberitakannya bahwa hal tersebut termasuk kesesatan, beliau bersabda di dalam haditsnya:

عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين، عضّوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل بدعة ضلالة

Maka peganglah sunnahku dan sunnah para khalifah yang lurus dan mendapat petunjuk, gigitlah dengan gigi gerahammu, dan jauhilah olehmu perkara-perkara yang baru, karena setiap bid’ah itu sesat. Yang telah disebutkan hadits dan takhrijnya.

Abdullah bin Masud berkata:

اتبعوا ولا تبتدعوا فقد كفيتم

Ittiba’lah dan jangan membuat bid`ah kerana kalian telah dicukupi.

Umar bin Abdul Aziz rahimahullahu berkata:

قف حيث وقف القوم، فإنهم عن علم وقفوا وببصر نافذ كفوا

Berhentilah dimana kaum salaf itu berhenti, mereka berhenti kerana berangkat dari dasar ilmu serta mampu untuk membahas namun mereka menahan diri darinya.

Imam al-Auzai Rahimahullahu berkata:

عليك بآثار من سلف وإن رفضك الناس، وإياك وآراء الرجال وإن زخرفوه لك بالقول

Peganglah atsar dari salaf walaupun manusia menentangnya, jauhilah oleh kalian pemikiran-pemikiran manusia walaupun mereka menghiasinya dengan perkataan.

Termasuk diantara aqidah salaf adalah, pendapat mereka bahwa Iman adalah ucapan dengan lisan, perbuatan dengan anggota tubuh, dan keyakinan dengan hati, serta iman dapat bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Termasuk diantara aqidah salaf adalah, bahwasanya kebaikan dan kejahatan adalah dengan keputusan (Qodho) Allah dan ketentuan-Nya (Qodar), namun Dia tidaklah memerintahkan keburukan. Sebagaimana perkataan sebagian salaf: Seluruhnya adalah dengan perintah Allah, kerana Allah Taala memerintahkan kebaikan dan melarang dari keburukan, Dia tidak memerintahkan kepada kekejian namun ia melarangnya. Dan manusia tidaklah dipaksa, ia mampu memilih perbuatan dan keyakinannya, dan ia berhak atas siksaan dan pahala sesuai dengan ikhtiarnya, ia dapat memilih perintah dan larangan. Allah Taala berfirman:

فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر

Barangsiapa yang berkehendak beriman maka hendaklah ia beriman dan barangsiapa yang berkehendak kafir biarlah ia kafir. (al-Kahfi: 29).

Termasuk diantara aqidah salaf adalah, mereka tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin yang berdosa, walaupun mereka melakukan dosa besar, kecuali jika ia menentang sesuatu dari agama yang telah diketahui akan keutamaanya, dan ia mengetahui mana yang khusus dan mana yang umum, dan perkara ini telah tetap dari al-Kitab, as-Sunnah dan Ijma’ salaful ummah dan para imamnya.

Termasuk diantara aqidah salaf adalah, mereka beribadah kepada Allah Taala semata dan tidak mensekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, tidaklah mereka meminta melainkan hanya kepada Allah, mereka tidak pula beristighotsah dan beristianah melainkan kepada-Nya Subhanahu. Mereka tidak bertawakal melainkan kepada-Nya Jalla wa Ala dan mereka bertawasul kepada Allah dengan ketaatannya, ibadahnya, dan amal-amal shalihnya.

Sebagaimana firman Allah Taala:

يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وابتغوا إليه الوسيلة

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan-jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya. (al-Maidah: 35) yaitu, dekatlah kepada-Nya dengan ketaatan dan ibadah kepada-Nya.

Termasuk diantara aqidah salaf adalah, sholat boleh di belakang setiap orang yang baik mahupun yang fajir selama zhahirnya masih benar. Dan kita tidak menetapkan seorangpun siapapun dia dengan syurga atau neraka kecuali terhadap orang-orang yang telah ditetapkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Akan tetapi kami mengharapkan kebaikan dan takut akan keburukan. Kami mempersaksikan sepuluh orang yang diberitakan masuk surga sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam mempersaksikan mereka. Dan setiap orang yang dipersaksikan oleh Nabi dengan surga maka kami turut mempersaksikannya, karena beliau tidaklah berucap dari hawa nafsu kecuali wahyu yang diwahyukan.

Kami memberikan loyalitas/kecintaan kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan menahan diri dari memperbincangkan pertelingkahan dan perselisihan dinatara mereka. Dan urusannya adalah pada Rabb mereka. Kami tidak mencela salah seorang dari sahabat, sebagaimana sabdanya baginda s.a.w.:

لا تسبوا أصحابي، فو الذي نفسي بيده لو أنفق أحدكم مثل أحد ذهبا ما بلغ مدّ أحدهم ولا نصيفه

Janganlah kalian mencela sahabatku, demi dzat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan hartanya sebanyak gunung uhud, tidak akan mampu mencapai satu mud infaq mereka maupun setengahnya.

Para sahabat tidaklah maksum dari kesalahan, karena ishmah (kemaksuman) adalah milik Allah dan rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa Sallam dalam menyampaikan. Dan Allah Taala memelihara ijma’ ummat dari kesalahan, bukan satu individu, sebagaimana sabda nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam dalam haditsnya:

إن الله لا يجمع أمتي على الضلالة، ويد الله على الجماعة

Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan ummatku di atas kesesatan, dan tangan Allah di atas jamaah.

Kami memohon Redha Allah bagi isteri-isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, Ummahatul Mukminin, dan kami berkeyakinan bahwa mereka suci terbebas dari segala keburukan.

Termasuk diantara aqidah salaf adalah, tidak wajib bagi seorang muslim untuk mengikatkan dirinya kepada madzhab fikih tertentu, dan boleh baginya keluar dari satu madzhab ke madzhab lainnya berdasarkan kekuatan dalil. Tidak ada madzhab bagi orang awam, madzhabnya adalah madzhab muftinya. Bagi penuntut ilmu, jika dia memiliki keahlian dan mampu untuk mengetahui dalil-dalil para imam maka hendaklah ia melakukannya, dan berpindah dari madzhabnya seorang imam dalam suatu masalah kepada madzhab (jalan) imam lain yang memiliki dalil lebih kuat dan pemahaman lebih rajih di dalam masalah lainnya. Yang demikian ini dikatakan sebagai muttabi’ bukanlah mujtahid, karena ijtihad adalah menggali hukum langsung dari Kitabullah dan as-Sunnah sebagaimana para imam yang empat melakukannya ataupun selain mereka dari para ahi fikih dan ahli hadits.

Termasuk diantara aqidah salaf adalah, bahawasanya para sahabat yang empat, yaitu: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali Radhiyallahu anhum, mereka adalah para khalifah yang lurus lagi mendapatkan petunjuk (Khulafaur Rasyidin al-Mahdiyin). Mereka yang memegang kekhalifahan nubuwah selama 30 tahun ditambah kekhilafahan Husain Radhiyallahu anhum, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam:

الخلافة في أمتي ثلاثون سنة، ثم مُلك بعد ذلك

Kekhilafahan pada ummatku selama 30 tahun, kemudian akan berbentuk kerajaan setelahnya.

Termasuk diantara aqidah salaf adalah, wajib mengimani seluruh yang berada di dalam al-Qur'an dan Allah Taala memerintahkan kita dengannya, dan meninggalkan setiap apa yang dilarang Allah kepada kita baik secara global maupun terperinci. Kami mengimani segala apa yang diberitakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, dan yang telah sahih penukilan darinya baik yang dapat kita saksikan mahupun yang tidak dapat, sama saja baik yang dapat kita ketahui mahupun yang tidak kita ketahui dan tidak pula dapat kita telaah hakikat maknanya. Kita melaksanakan segala perintah Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan kita menjauhi terhadap segala apa yang Allah dan Rasul-Nya melarangnya. Kita berhenti pada batasan-batasan (Hudud) Kitabullah Taala dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, dan yang datang dari Khalifah ar-Rasyidin al-Mahdiyin. Wajib bagi kita mengikuti segala apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam baik berupa keyakinan, amal perbuatan, dan ucapan, serta meniti jalannya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan jalannya para Khalifah ar-Rasyidin al-Mahdiyin yang empat baik berupa keyakinan, amal perbuatan mahupun ucapan. Inilah dia sunnah yang sempurna itu, dikeranakan sunnah Khalifah ar-Rasyidin diikuti sebagaimana mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam.

Umar bin Abdul Aziz berkata:

سن لنا رسول الله r وولاة الأمر من بعده سننا، الأخذ بها اعتصام بكتاب الله، وقوة على دين الله، ليس لأحد تبديلها ولا تغييرها، ولا النظر في أمرٍ خالفها، من اهتدى بها فهو المهتدي، ومن استنصر بها فهو المنصور، ومن تركها واتبع غير سبيل المؤمنين ولاّه الله ما تولى وأصلاه جهنم وساءت مصيراً

Rasulullah meninggalkan sunnah bagi kita demikian pula para pemimpin setelah beliau, mengambil sunnah dengan berpegang terhadap Kitabullah dan memperkuat agama Allah. Tidak ada seorangpun yang merubah mahupun menggantinya, tidak pula ada pandangan terhadap sesuatu yang menyelisihinya. Barangsiapa yang berpetunjuk dengannya maka ia akan mendapatkan petunjuk, dan barangsiapa yang menolongnya maka ia akan ditolong. Namun barangsiapa yang meninggalkannya dan mengikuti selain jalannya orang yang beriman maka Allah akan membiarkan ia berleluasa terhadap kesesatan yang ia condong padanya dan baginya jahannam seburuk-buruk tempat kembali.

Sebagai saksi kebenaran terhadap hal ini adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam:

وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة

Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru karena setiap bid’ah (perkara baru dalam agama) itu sesat. Hadits ini merupakan pokok yang agung dari pokok-pokok agama, dan hadits ini semakna dengan hadits:

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو ردّ

Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam urusan kami yang tidak ada perintahnya maka tertolak.

Di dalam hadits ini terdapat suatu peringatan dari mengikuti perkara-perkara yang baru (muhdats) di dalam agama dan ibadah. Yang dimaksud dengan bid’ah adalah segala perkara yang diada-adakan tanpa ada dasarnya dari syariat yang menunjukkan pensyariatannya. Adapun jika suatu perkara memiliki asal di dalam syariat yang menunjukkan pensyariatannya maka bukanlah hal ini termasuk bid’ah secara syariat, namun dimutlakkan sebagai bid’ah secara bahasa. Maka setiap orang yang mengada-adakan sesuatu dan menyandarkannya kepada agama padahal tidak ada asal yang yang menunjukkannya maka ia termasuk kesesatan, dan agama ini berlepas diri darinya baik itu dalam masalah keyakinan, perbuatan mahupun ucapan.

Adapun yang terdapat pada ucapan salaf yang menyatakan kebaikan beberapa bid’ah, maka sesungguhnya yang dimaksud adalah bidah secara bahasa dan tidak (bukanlah) secara syar’i (istilah), diantaranya adalah ucapan Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu tatkala beliau mengumpulkan manusia pada ketika solat Tarawih di bulan Ramadhan pada imam yang satu di Masjid, beliau keluar dan melihat mereka sedang sholat, beliau berkata: نعمت البدعة هذه yang ertinya: Ini adalah sebaik-baik bidah, namun amalan ini memiliki dasar di dalam syariat, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam pernah solat Tarawih secara berjamaah di Masjid, kemudian beliau meninggalkannya karena takut akan diwajibkan kepada ummatnya sedangkan ummatnya tidak mampu mengamalkannya. Ketakutan ini sirna setelah wafatnya beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam, oleh karena itu Umar menghidupkannya kembali. Adapun ibadah yang telah tetap di dalam syariat maka tidak boleh menambah-nambahinya.

Misalnya adzan, telah baku kaifiyatnya yang disyariatkan tanpa perlu menambah-nambah mahupun mengurang-ngurangi. Demikian pula solat, telah baku kaifiyatnya yang disyariatkan, kerana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda: صلوا كما رأيتموني أصلي yang ertinya: Sholatlah kamu sebagaimana aku solat. Hadits ini shahih diriwayatkan oleh Bukhari di dalam Sahih-nya. Haji pun juga telah baku kaifiyatnya dari syariat, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda: خذوا عني مناسككم yang ertinya: Ambillah dariku manasik hajimu. Ada beberapa perkara yang dilakukan oleh kaum muslimin yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Namun perkara-perkara ini merupakan suatu keharusan (dharuriyah) dalam rangka memelihara Islam, mereka memperbolehkanya dan mendiamkannya, seperti Utsman bin Affan yang mengumpulkan mushaf menjadi satu kerana khuwatir ummat akan berpecah belah, dan para sahabat yang lainpun menganggap hal ini baik, kerana padanya terdapat maslahat yang sangat jelas. Juga seperti penulisan hadits Nabi yang mulia dikeranakan khuwatir akan lenyap karena kematian para penghafalnya. Demikan pula penulisan tafsir al-Qur'an, al-Hadits, penulisan ilmu nahwu untuk menjaga Bahasa Arab yang merupakan sarana dalam memahami Islam, penulisan ilmu mustholah hadits. Semua ini diperbolehkan dalam rangka menjaga syariat Islam dan Allah Taala sendiri bertanggung jawab dalam memelihara syariat ini sebagaimana dalam firman-Nya:

إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون

Sesungguhnya kami yang menurunkan al-Qur'an dan sesungguhnya kami pula yang bertanggung jawab memeliharanya. (al-Hijr: 9)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

يحمل هذا العلم من كل خَلَف عُدوله، ينفون عنه تحريف الغالين، وانتحال المُبطلين، وتأويل الجاهلين

Ilmu ini disemarakkan pada setiap generasi oleh orang-orang yang benar, mereka menghilangkan perubahan orang-orang yang ekstrim, penyelewengan orang-orang yang bathil dan penakwilan orang-orang yang bodoh. Hadits ini hasan dengan jalan-jalannya dan syawahid (penguat)-nya.

Inilah aqidah generasi pertama dari ummat ini, dan aqidah ini adalah aqidah yang murni seperti murninya air tawar, aqidah yang kuat seperti kuatnya gunung yang menjulang tinggi, aqidah yang kokoh seperti kokohnya tali simpul yang kuat, dan ia adalah aqidah yang selamat, jalan yang lurus di atas manhaj al-Kitab dan as-Sunnah serta di atas ucapan Salaful Ummah dan para imamnya. Dan ia adalah jalan yang mampu menghidupkan hati generasi pertama ummat ini, ia merupakan aqidah Salafush Shalih, Firqoh Najiyah (Golongan yang selamat) dan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Aqidah ini merupakan aqidahnya para imam yang empat dan pemegang madzhab yang masyhur serta para pengikutnya, aqidahnya jumhur ahli fikih dan ahli hadits serta para ulama yang mengamalkan ilmunya, dan aqidahnya orang-orang yang meniti jalan mereka hingga saat ini dan hingga hari kiamat. Sesungguhnya telah berubah orang-orang yang merubah ucapan-ucapan mereka, oleh sebahagian mutaakhirin (orang-orang generasi terakhir) yang menyandarkan diri mereka kepada madzhab mereka. Maka wajib atas kita kembali kepada aqidah salafiyah yang murni, kepada sumbernya yang telah dilalui oleh orang-orang terbaik dari Salaf Sholih. Maka kita diam terhadap apa yang mereka diamkan, kita menjalankan ibadah sebagaimana mereka menjalankannya, dan kita berpegang dengan al-Kitab, as-Sunnah dan Ijma Salaful Ummah dan para imamnya serta qiyas yang shahih pada perkara-perkara yang baru (kontemporer).

Imam an-Nawawi berkata di dalam al-Adzkar:

واعلم أن الصواب المختار ما كان عليه السلف رضي الله عنهم، وهذا هو الحق، ولا تغترن بكثرة من يخالفه

Ketahuilah, bahwa kebenaran yang terpilih adalah apa yang para salaf Radhiyallahu anhum berada di atasnya.

Demikian pula Abu Ali al-Fudhail bin Iyyadh berkata:

الزم طرق الهدى ولا يضرك قِلة السالكين، وإياك وطرق الضلالة، ولا تغترن بكثرة الهالكين

Tetapilah jalan-jalan petunjuk dan tidaklah akan membahayakanmu sedikitnya orang yang menitinya. Jauhilah olehmu jalan-jalan kesesatan, dan janganlah dirimu terpedaya dengan banyaknya orang yang binasa.

Inilah satu-satunya jalan yang akan memperbaiki keadaan ummat ini. Telah benar apa yang dikatakan oleh Imam Malik bin Anas Rahimahullahu, seorang penduduk Madinah al-Munawarah ketika berkata:

لن يصلح آخر هذه الأمة إلا بما صلح به أولها

Tidaklah akan baik akhir ummat ini kecuali mereka mengikuti baiknya awal ummat ini.

Tidaklah akan musnah kebaikan di dalam ummat ini, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah bersabda di dalam haditsnya:

لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خذلهم حتى يأتي أمر الله وهم كذلك

Akan senantiasa ada segolongan dari ummatku yang menampakkan kebenaran, tidaklah membahayakan mereka orang-orang yang mencela, mereka tetap dalam keadaan demikian sampai datangnya hari kiamat.

Inilah Aqidah Salaf Sholih yang telah disepakati oleh sejumlah besar para ulama, diantaranya adalah Abu Jafar ath-Thahawi, yang telah disyarah aqidahnya oleh Ibnu Abil Izz al-Hanafi salah seorang murid Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, yang dinamakan dengan Syarh Aqidah ath-Thahawiyah. Diantara mereka juga Abul Hasan al-Asyari di dalam kitabnya al-Ibanah an Ushulid Diyaanah, yang di dalamnya terhimpun aqidah beliau yang terakhir, beliau berkata:

قولنا الذي نقول به، وديانتنا التي ندين بها: التمسك بكتاب الله عز وجل، وبسنة نبينا r، وما روي عن الصحابة والتابعين وأئمة الحديث، ونحن بذلك معتصمون، وبما كان يقول به أبو عبد الله أحمد بن حنبل قائلون، ولمن خالف قوله مجانبون

Pendapat yang kita berpendapat dengannya dan agama yang kita beragama dengannya adalah: kita berpegang dengan Kitabullah Azza wa Jalla dan dengan Sunnah Nabi kita Shallallahu 'alaihi wa Sallam, serta dengan apa yang diriwayatkan dari para sahabat, tabiin dan para imam hadits. Kami berpegang dengan itu semuanya, dan dengan apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, dan orang-orang yang menyelisihi ucapannya adalah orang yang sesat.

Termasuk pula tulisan tentang aqidah salafus shalih adalah apa yang ditulis oleh Ash-Shabuni dalam kitabnya Aqidah Salaf Ashabul hadits, dan juga diantaranya adalah Muwafiquddin Abu Qudamah al-Maqdisy al-Hanbali dalam kitabnya Lumatul Itiqod al-Haadi ila Sabilir Rosyad, dan selain mereka dari para ulama yang mulia. Semoga Allah membalas mereka semua dengan kebaikan.

Kami memohon kepada Allah untuk menunjuki kami kepada Aqidah yang murni, jalan yang terang benderang lagi suci dan akhlak yang mulia terpuji. Dan kita memohon supaya menghidupkan kita di atas Islam dan mematikan kita di atas syariat nabi kita Muhammad alaihi Sholatu wa Salam.

Ya Allah, tetapkanlah kami sebagai muslim dan kumpulkanlah kami bersama orang-orang yang soleh bukan orang-orang yang hina lagi terfitnah, ampunilah dosa kami dan dosa kedua orang tua kami serta seluruh kaum mukminin pada hari ditegakkannya perhitungan. Kami memohon kepada Allah Taala agar senantiasa mengilhamkan kepada kami kebenaran di dalam berkata dan beramal, sesungguhnya Ia Maha Mampu atas segala hal dan Dialah Dzat satu-satunya yang layak dipinta. Demikianlah akhir seruan kami, segala puji hanyalah milik Allah pemelihara alam semesta.

Pelayan Sunnah Nabawiyah, Abu Muhammad Abdul Qodir al-Arna`uth

Allahlah di balik segala tujuan.

Di-alihbahasakan oleh:
Abu Salma al-Atsariy at-Tirnatiy
Dari http://www.alarnaut.com/ (Website rasmi Syaikh Abdul Qadir al-Arna`uth)
Dipersembahkan bagi penulis Rahimahullahu yang telah pulang ke rahmatullah pada tanggal 13 Syawwal 1425/26 November 2004, semoga ilmu dan amalnya akan tetap kekal di dunia ini dan semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menempatkannya ke dalam syurga-Nya kelak bersama para rasul, nabi, mujahidin, shiddiqin dan syuhada.

Disebarkan oleh Lajnah Dakwah dan Talim FSMS
Forum Silaturrahim Mahasiswa as-Sunnah
Surabaya

Thursday, September 24, 2009

PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Prinsip Kelapan

Dan di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah membenarkan adanya karamah para wali iaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui tangan-tangan sebahagian mereka, berupa hal-hal yang luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana hal tersebut telah ditunjukkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sedang golongan yang mengingkari adanya karamah-karamah tersebut di antaranya Mu'tazilah dan Jahmiyah, yang pada hakikatnya mereka mengingkari sesuatu yang diketahuinya. Akan tetapi kita harus mengetahui bahwa ada sebahagian manusia pada zaman kita sekarang yang tersesat dalam masalah karamah, bahkan berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-apa yang sebenarnya bukan termasuk karamah baik berupa jampi-jampi, perbuatan ahli sihir, syetan-syaitan dan para pendusta. Perbezaan karamah dan kejadian luar biasa lainnya itu jelas, Karamah adalah kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada para hamba-Nya yang sholeh, sedang sihir adalah perbuatan yang biasa diperlihatkan tukang sihir dari orang-orang kafir dan atheis dengan maksud untuk menyesatkan manusia dan mengambil harta-harta mereka. Karamah bersumber pada keta'atan, sedang sihir bersumber pada kekafiran dan ma'shiyat.

Prinsip Kesembilan


Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah bahwa dalam berdalil selalu mengikuti apa-apa yang datang dari Kitab Allah dan atau Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam baik secara lahir mahu pun bathin dan mengikuti apa-apa yang dijalankan oleh para sahabat dari kaum Muhajirin maupun Anshar pada umumnya dan khususnya mengikuti Al-Khulafaur rasyidin sebagaimana wasiat Rasulullah dalam sabdanya.

" Berpegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidiin yang mendapat petunjuk". (Telah terdahulu takhrijnya).

Dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak mendahulukan perkataan siapapun terhadap firman Allah dan sabda Rasulullah. Oleh kerana itu mereka dinamakan Ahlul Kitab Was Sunnah. Setelah mengambil dasar Al-Qur'an dan As- Sunnah, mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ulama umat ini. Inilah yang disebut dasar yang pertama ; yakni Al-Qur'an dan As- Sunnah. Segala hal yang diperselisihkan manusia selalu dikembalikan kepada Al-Kitab dan As- Sunnah. Allah telah berfirman.

"Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya". (An- Nisaa : 59)


Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema'shuman seseorang selain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka tidak berta'ashub pada suatu pendapat sampai
pendapat tersebut bersesuaian dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka meyakini bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Mereka tidak boleh berijtihad sembarangan kecuali siapa yang telah memenuhi persyaratan tertentu
menurut ahlul 'ilmi. Perbezaan-perbezaan di antara mereka dalam masalah ijtihad tidak boleh mengharuskan adanya permusuhan dan saling memutuskan hubungan diantara mereka, sebagaimana dilakukan orangorang yang ta'ashub dan ahlul bid'ah. Sungguh
mereka tetap berlemah-lembut perbezaan yang layak(wajar), bahkan mereka tetap saling mencintai dan berwali satu sama lain ; sebahagian mereka tetap shalat di belakang sebahagian yang lain betapapun adanya perbezaan masalah far'i (cabang) di antara mereka. Sedang ahlul bid'ah saling memusuhi, mengkafirkan dan menghukumi sesat kepada setiap orang yang menyimpang dari golongan mereka.

PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Prinsip Ketujuh

Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah mencintai ahlul bait sesuai dengan wasiat Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabdanya.

" Sesunnguhnya aku mengingatkan kalian dengan ahli baitku". ( Dikeluarkan Muslim 5 Juz 15, hal 180 Nawawy, Ahmad 4/366-367 dan Ibnu Abi 'Ashim dalam kitab As-Sunnah No. 629).

Sedang yang termasuk keluarga baginda adalah isteri-isterinya sebagai ibu kaum mu'minin Radhiyallahu 'anhunna wa ardhaahunna. Dan sungguh Allah telah berfirman tentang mereka setelah menegur mereka.

"Wahai wanita-wanita nabi ........".(Al-Ahzab : 32)

Kemudian mengarahkan nasihat-nasihat kepada mereka dan menjanjikan mereka dengan pahala yang besar, Allah berfirman.

" Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan mensucikan kamu sesuci sucinya". ( Al-Ahzab : 33)


Pada pokoknya ahlul bait itu adalah saudara saudara dekat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang dimaksud di sini khususnya adalah yang sholeh di antara mereka. Sedang sudara-saudara dekat yang tidak sholeh seperti bapa saudaranya, Abu Lahab maka tidak memiliki hak. Allah berfirman.

"Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya celaka dia". (Al- Lahab : 1).

Maka sekadar hubungan darah yang dekat dan bernisbat kepada Rasul tanpa keshalehan dalam ber-din (Islam), tidak ada manfaat dari Allah sedikitpun baginya, Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Wahai kaum Quraisy, belilah diri-diri kamu, sebab aku tidak dapat memberi kamu manfaat di hadapan Allah sedikitpun ; ya Abbas bapa saudara Rasulullah, aku tidak dapat memberikan manfa'at apapun di hadapan Allah. Ya Shofiyyah ibu saudara Rasulullah, aku tidak dapat memberi manfaat apapun di hadapan Allah, ya Fatimah anak Muhammad, mintalah dari hartaku semahu kamu aku tidak dapat memberikan manfaat apapun di hadapan Allah". (Dikeluarkan oleh Bukhary 3/4771, 2/2753, Muslim 1 Juz 3 hal 80-81 Nawaw
y).

Dan saudara-saudara Rasulullah yang sholeh tersebut mempunyai hak atas kita berupa
penghormatan, cinta dan penghargaan, namun kita tidak boleh berlebih-lebihan terhadap mereka dengan mendekatkan diri dengan suatu ibadah kepada mereka. Adapaun keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memberi manfaat atau madlarat selain dari Allah adalah bathil, sebab Allah telah berfirman.

"Katakanlah (wahai Muhammad) : Bahwasanya aku tidak kuasa mendatangkan kemudharatan dan manfaat bagi kalian". (Al-Jin : 21).

"Katakanlah (hai Muhammad) : Aku tidak memiliki manfaat atau madlarat atas diriku kecuali apa-apa yang tidak dikehendaki oleh Allah , kalaulah aku mengetahui yang ghaib sunguh aku aka perbanyak berbuat baik dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan". (Al-A'raf : 188)

Apabila Rasulullah saja demikian, maka bagaimana pula yang lainnya. Jadi, apa yang diyakini sebahagian manusia terhadap kerabat Rasul adalah suatu keyakinan yang bathil.

PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Prinsip Kelima

Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah walJama'ah adalah haramnya keluar untuk
memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang wajibnya ta'at kepada mereka dalam hal-hal yang bukan ma'shiyat dan selama belum nampak pada mereka kekafiran yang jelas. Berlainan dengan Mu'tazilah dan Khawarij yang mewajibkan keluar dari kepemimpinan para imam/pemimpin yang melakukan dosa besar walaupun belum termasuk amalan kufur dan mereka memandang hal tersebut sebagai amar ma'ruf nahi munkar. Sedang pada kenyataannya, keyakinan Mu'tazilah dan Khawarij seperti ini merupakan kemungkaran yang besar kerana akan berlaku kekacauan dan berbagai kerosakan pada negara dan ummah.


Prinsip Keenam


Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah bersihnya hati dan mulut mereka terhadap para sahabat Rasul Radhiyallahu 'anhum sebagaimana hal ini telah digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala ketika mengkisahkan Muhajirin dan Anshar dan pujian-pujian terhadap mereka.

"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan : Ya Allah, ampunilah kami dan saudara-suadara kami yang telah mendahului kami dalam iman dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kebencian kepada orang-orang yang beriman : Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". (Al- Hasyr : 10).

Dan sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Janganlah kamu sekali-kali mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang jiwaku di tangan-Nya, kalau seandainya salah seorang di antara kamu menginfakkan emas sebesar gunung uhud, nescaya tidak akan mencapai segenggam kebaikan salah seorang di antara mereka tidak juga setengahnya". (Dikeluarkan oleh Bukhary 3/3673, dan Muslim 6/ Juz 16 hal 92-93 atas Syarah Nawawy).


Berlainan dengan sikap orang-orang ahlul bid'ah baik dari kalangan Rafidhoh mahu pun Khawarij yang mencela dan meremehkan keutamaan para sahabat. Ahlus Sunnah memandang bahwa para khalifah setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhumajma'in. Barangsiapa yang mencela salah satu khalifah di antara mereka, maka dia lebih sesat daripada keldai kerana bertentangan dengan nash dan ijma atas kekhalifahan mereka dalam silsilah seperti ini.

PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Prinsip Keempat

Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah wajibnya ta'at kepada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk berbuat kema'shiyatan, apabila mereka memerintahkan perbuatan ma'shiyat, dikala itulah kita dilarang untuk menta'atinya namun tetap wajib ta'at dalam kebenaran lainnya, sebagaimana firman Allah Ta'ala.

"Wahai orang-orang yang beriman, ta'atlah kamu kepada Allah dan ta'atlah kepada Rasul serta para pemimpin di antara kalian ..." (An-Nisaa : 59)


Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Dan aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar dan ta'at walaupun yang memimpin kalian seorang hamba".(Telah terdahulu takhrijnya, merupakan potongan hadits 'Irbadh bin Sariyah tentang nasihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabatnya).


Dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah memandang bahwa ma'shiyat kepada seorang amir yang
muslim itu merupakan ma'shiyat kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya.

"Barangsiapa yang ta'at kepada amir (yang muslim) maka dia ta'at kepadaku dan barangsiapa yang ma'shiyat kepada amir maka dia ma'shiyat kepadaku". (Dikeluarkan oleh Bukhari 4/7137, Muslim 4 Juz 12 hal. 223 atas Syarah Nawawi).


Demikian pula, Ahlus Sunnah wal Jama'ah-pun memandang bolehnya shalat dan berjihad di belakang para amir dan menasihati serta medo'akan mereka untuk kebaikan dan keistiqomahan.

PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Prinsip Ketiga

Dan di antara prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah bahwasanya mereka tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya. Adapun perbuatan dosa besar selain syirik dan tidak ada dalil yang menghukumi pelakunya sebagai kafir. Misalnya meninggalkan shalat kerana malas, maka pelaku (dosa besar tersebut) tidak dihukumi kafir akan tetapi dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna. Apabila dia mati sedang dia belum bertaubat maka dia berada dalam kehendak Allah. Jika Dia berkehendak Dia akan mengampuninya, namun si pelaku tidak kekal di neraka, telah berfirman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni dosa-dosa selainnya bagi siapa yang dikehendakinya ..." (An-Nisaa : 48).

Dan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam masalah ini berada di tengah-tengah antara Khawarij yang mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa besar walau bukan termasuk syirik dan Murji'ah yang mengatakan si pelaku dosa besar sebagai mu'min sempurna imannya, dan mereka mengatakan pula tidak bererti suatu dosa/ma'shiyat dengan adanya iman sebagaimana tak berertinya suatu perbuatan ta'at dengan adanya kekafiran.

PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Prinsip Kedua

Dan di antara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah bahwasanya iman itu perkataan, perbuatan dan keyakinan yang bertambah dengan keta'atan dan berkurang dengan kema'shiyatan, maka iman itu bukan hanya perkataan dan perbuatan tanpa keyakinan sebab yang demikian itu merupakan keimanan kaum munafiq, dan bukan pula iman itu hanya sekadar ma'rifah (mengetahui) dan meyakini tanpa ikrar dan amal sebab yang demikian itu merupakan keimanan orang-orang kafir yang menolak kebenaran. Allah berfirman.

"Dan mereka mengingkarinya kerana kezaliman dan kesombongan (mereka), padahal hati-hati mereka meyakini kebenarannya, maka lihatlah kesudahan orang-orang yang berbuat kerosakan itu". (An-Naml : 14)


" ....... kerana sebenarnya mereka bukan mendustakanmu, akan tetapi orang orang yang zalim itu menentang ayat-ayat Allah". (Al-An'aam : 33)

" Dan kaum 'Aad dan Tsamud, dan sungguh telah nyata bagi kamu kehancuran tempat-tempat tinggal mereka. Dan syaitan menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka sehingga menghalangi mereka dari jalan Allah padahal mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam" (Al-Ankabut : 38)


Bukan pula iman itu hanya suatu keyakinan dalam hati atau perkataan dan keyakinan tanpa amal perbuatan kerana yang demikian adalah keimanan golongan Murji'ah ; Allah seringkali menyebut amal perbuatan termasuk iman sebagaimana tersebut dalam firman-Nya.

" Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang apabila ia disebut nama Allah bergetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah imannya dan kepada Allahlah mereka bertawakal, (iaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, dan yang menafkahkan apa-apa yang telah dikurniakan kepada mereka. Merekalah orang-orang mu'min yang sebenarnya …" (Al-Anfaal : 2-4).


" Dan Allah tidak akan menyia nyiakan iman kalian" (Al-Baqarah : 143).

PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Prinsip-prinsip tersebut teringkas dalam butir-butir berikut.

Prinsip Pertama


Beriman kepada Allah, para MalaikatNya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasulNya, Hari Akhir dan Taqdir baik dan buruk.

1. Iman kepada Allah

Beriman kepada Allah ertinya berikrar dengan tauhid yang tiga serta beriti'qad dan beramal dengannya iaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluuhiyyah dan tauhid al-asmaa wa shifaat.

Adapun tauhid rububiyyah adalah mentauhidkan segala apa yang dikerjakan Allah baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan dan bahwasanya Dia itu adalah Raja dan Penguasa segala sesuatu.

Tauhid uluuhiyyah ertinya mengesakan Allah melalui segala pekerjaan hamba yang dengan cara itu mereka mendekatkan diri kepada Allah apabila memang hal itu disyari'atkan oleh-Nya seperti berdo'a, takut, rojaa' (harap), cinta, dzabh (penyembelihan), nadzr (janji), isti'aanah (minta pertolongan), al-istighotsah (minta bantuan), alisti'adzah (meminta perlindungan), shalat, shaum, haji, berinfaq di jalan Allah dan segala apa saja yang disyari'atkan dan diperintahkan Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun baik seorang malaikat, nabi, wali maupun yang lainnya.

Sedangkan makna tauhid al-asma wash-shifaat adalah menetapkan apa-apa yang Allah dan RasulNya telah tetapkan atas diriNya baik itu berkenaan dengan nama-nama mahupun sifat-sifat Allah dan mensucikan-Nya dari segala 'aib dan kekurangan sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Semua ini kita yakini tanpa melakukan tamtstil (perumpamaan), tanpa tasybiih (penyerupaan), tahrif (penyelewengan), ta'thil (penafian), dan tanpa takwil ; seperti difirmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

" Tak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (Asy-Syuro : 11)

Dan firman Allah pula.

"Dan Allah mempunyai nama nama yang baik, maka berdo'alah kamu dengannya". (Al-A'raf : 180).

2. Beriman kepada Para Malaikat-Nya

Yakni membenarkan adanya para malaikat dan bahwasanya mereka itu adalah makhluk dari sekian banyak makhluk Allah, diciptakan dari cahaya. Allah menciptakan malaikat dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya dan menjalankan perintah perintahNya di dunia ini, sebagaimana difirmankan Allah.

" ....Bahkan malaikat-malaikat itu adalah mahluk yang dimuliakan, mereka tidak mendahuluiNya dalam perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintahNya". (Al-Anbiyaa : 26-27).

"Allahlah yang menjadikan para malaikat sebagai utusan yang memiliki sayap dua, tiga dan empat ; Allah menambah para mahluk-Nya apa-apa yang Dia kehendaki". (Faathir : 1)

3. Iman kepada Kitab-kitab-Nya

Yakni membenarkan adanya Kitab-kitab Allah beserta segala kandungannya baik yang berupa hidayah (petunjuk) dan cahaya serta mengimani bahwasanya yang menurunkan kitab-kitab itu adalah Allah sebagai petunjuk bagi seluruh manusia. Dan bahwasanya yang paling agung di antara sekian banyak kitab-kitab itu adalah tiga kitab iaitu Taurat, Injil dan Al-Qur'an dan di antara ketiga kitab agung tersebut ada yang teragung yakni Al-Qur'an yang merupakan mu'jizat yang agung. Allah berfirman.

" Katakanlah (wahai Muhammad) : 'sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur'an nescaya mereka tidak akan mampu melakukannya walaupun sesama mereka saling berkerjasama". (Al-isra : 88)


Dan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah mengimani bahwa Al-Qur'an itu adalah kalam (firman) Allah ; dan dia bukanlah makhluq baik huruf mahupun ertinya. Berbeza dengan pendapat golongan Jahmiyah dan Mu'tazilah, mereka mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk baik huruf mahu pun maknanya. Berbeza pula dengan pendapat Asyaa'irah dan yang menyerupai mereka, yang mengatakan bahawa kalam (firman) Allah hanyalah ertinya saja, sedangkan huruf-hurufnya adalah makhluk. Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah, kedua pendapat tersebut adalah bathil berdasarkan firman Allah.

" Dan jika ada seorang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar KALAM ALLAH (Al- Qur'an)". (At-Taubah : 6)

"Mereka itu ingin merubah KALAM Allah". (Al-Fath : 15)

4. Iman Kepada Para Rasul

Yakni membenarkan semua rasul-rasul baik yang Allah sebutkan nama mereka mahupun yang tidak ; dari yang pertama sampai yang terkahir, dan penutup para nabi tersebut adalah nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Artinya pula, beriman kepada para rasul seluruhnya dan beriman kepada Nabi kita secara terperinci serta mengimani bahwasanya beliau adalah penutup para nabi dan rasul dan tidak ada nabi sesudahnya maka barangsiapa yang keimanannya kepada para rasul tidak demikian bererti dia telah kafir. Termasuk pula beriman kepada para rasul adalah tidak melalaikan dan tidak berlebih-lebihan terhadap hak mereka dan harus berbeza dengan kaum Yahudi dan Nashara yang berlebih-lebihan terhadap para rasul mereka sehingga mereka menjadikan dan memperlakukan para rasul itu seperti memperlakukan terhadap Tuhanya (Allah) sebagaimana yang difirmankan Allah.

"Dan orang-orang Yahudi berkata : 'Uzair itu anak Allah ; dan orang-orang Nasharani berkata :'Isa Al-Masih itu anak Allah...".( At-Taubah : 30)

Sedang orang-orang sufi dan para ahli filsafat telah bertindak sebaliknya. Mereka telah meerendahkan dan menghinakan hak para rasul dan lebih mengutamakan para pemimpin mereka, sedang kaum penyembah berhala dan atheis telah kafir kepada seluruh rasul tersebut. Orang-orang Yahudi telah -kafir terhadap Nabi Isa dan Muhammad 'alaihima shalatu wa sallam ; sedangkan orang-orang Nashara telah kafir kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan orang-orang yang mengimani sebahagian- mengingkari sebahagian (dari para rasul Allah), maka dia telah mengingkari dengan seluruh rasul, Allah telah berfirman.

"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya dan bermaksud memperbezakan antara (keimanannya kepada) Allah dan Rasul-Nya, dengan mengatakan : Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir kepada sebahagian (yang lain), serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan di antara yang demikian (iman dan kafir) merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya, kami telah menyediakan untuk mereka seksa yang menghinakan". (An-Nisaa : 150-151).

Dan Allah juga berfirman.

"Kami tidak mebeza-bezakan satu di antara Rasul-rasul-Nya ....".(Al-Baqarah : 285)

5. Iman Kepada Hari Akhirat

Yakni membenarkan apa-apa yang akan terjadi setelah kematian dari hal-hal yang telah
diberitakan Allah dan RasulNya baik tentang adzab dan ni'mat kubur, hari kebangkitan dari kubur, hari berkumpulnya manusia di padang mahsyar, hari perhitungan dan ditimbangnya segala amal perbuatn dan pemberian buku laporan amal dengan tangan kanan atau kiri, tentang jambatan (sirat), serta syurga dan neraka. Di samping itu keimanan untuk bersiap sedia dengan amalan-amalan sholeh dan meninggalkan amalan sayyi-aat (jahat) serta bertaubat dari padanya. Dan sungguh telah mengingkari adanya hari akhir orang-orang musyrik dan kaum dahriyyun, sedang orang-orang Yahudi dan Nashara tidak mengimani hal ini dengan keimanan yan benar sesuai dengan tuntutan, walau mereka beriman akan adanya hari akhir. Firman Allah.

"Dan mereka (Yahudi dan Nashara) berkata : 'Sekali-kali tidaklah masuk syurga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nashara. Demikianlah angan-angan mereka ......".(Al-Baqarah : 111).


"Dan mereka berkata : Kami sekali-kali tidak akan disentuh api neraka kecuali hanya dalam beberapa hari saja". (Al-Baqarah : 80).

6. Iman kepada taqdir.

Yakni beriman bahwasanya Allah itu mengetahui apa-apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi; menentukan dan menulisnya dalam lauhul mahfudz ; dan bahwasanya segala sesuatu yang terjadi, baik maupun buruk, kafir, iman, ta'at, ma'shiyat, itu telah dikehendaki, ditentukan dan diciptakan-Nya ; dan bahwasanya Allah itu mencintai keta'atan dan membenci kemashiyatan. Sedang hamba Allah itu mempunyai kekuasaan, kehendak dan kemampuan memilih terhadap pekerjaan-pekerjaan yang mengantar mereka pada keta'atan atau ma'shiyat, akan tetapi semua itu mengikuti kemauan dan kehendak Allah. Berbeda dengan pendapat golongan Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia terpaksa dengan pekerjaan-pekerjaannya tidak memiliki pilihan dan kemampuan sebaliknya golongan Qodariyah mengatakan bahwasanya hamba itu memiliki kemahuan yang berdiri sendiri dan bahwasanya dialah yang menciptkan pekerjaan dirinya, kemahuan dan kehendak hamba itu terlepas dari kemauan dan kehendak Allah. Allah benar-benar telah membantah kedua pendapat di atas dengan firman-Nya.

"Dan kamu tidak akan berkemahuan seperti itu kecuali apabila Allah menghendakinya". (At-Takwir : 29)


Dengan ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak bagi setiap hamba sebagai bantahan terhadap Jabariyah yang ekstrim, bahkan menjadikannya sesuai dengan kehendak Allah, hal ini merupakan bantahan atas golongan Qodariyah. Dan beriman kepada taqdir dapat menimbulkan sikap sabar sewaktu seorang hamba menghadapi cubaan dan menjauhkannya dari segala perbuatan dosa dan hal-hal yang tidak terpuji. bahkan dapat mendorong orang tersebut untuk giat bekerja dan menjauhkan dirinya dari sikap lemah, takut dan malas.

NAMA-NAMA AL-FIRQOTUN NAAJIYAH DAN ERTINYA

NAMA-NAMA AL-FIRQOTUN NAAJIYAH DAN ERTINYA

Setelah kita mengetahui bahawa kelompok ini adalah golongan yang selamat dari kesesatan, maka tibalah giliran bagi kita untuk mengetahui pula nama-nama berserta ciri-cirinya agar kita dapat mengikutinya. Sebenarnyalah kelompok ini memiliki nama-nama agung yang membezakannya dari kelompok-kelompok lain.

Dan di antara nama-namanya adalah : Al-Firqotun Najiyah (golongan yang selamat) ; Ath-Thooifatul Manshuroh (golongan yang ditolong) ; dan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, yang ertinya adalah sebagai berikut.

1. Bahwasanya kelompok ini adalah kelompok yang selamat dari api neraka sebagaimana
telah dikecualikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika menyebutkan kelompok-kelompok yang ada pada umatnya dengan sabdanya :

"Seluruhnya di atas neraka kecuali satu ; yakni yang tidak masuk ke dalam neraka".(Telah terdahulu keterangannya)

2. Bahwasanya kelompok ini adalah kelompok yang tetap berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As-Sunnah dan apa-apa yang dipegang oleh As-Saabiqunal Awwalun (para pendahulu yang pertama) baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar sebagaimana di sabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Mereka itu adalah siapa-siapa yang berjalan diatas apa-apa yang aku dan sahabatku lakukan hari ini".(Telah terdahulu keterangannya)

3. Bahwasanya pengikut kelompok ini adalah mereka yang menganut fahaman Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Mereka berbeza dari kelompok lainnya pada dua perkara l penting ; pertama. berpegang teguhnya mereka terhadap As-Sunnah sehingga mereka di sebut sebagai pemeluk sunnah (Ahlus Sunnah). Berbeza dengan kelompok kelompok lain kerana mereka berpegang teguh dengan pendapat-pendapatnya, hawa nafsunya dan perkataan para pemimpinnya. Oleh kerana itu, kelompok-kelompok tersebut tidak dinisbatkan kepada Sunnah, akan tetapi dinisbatkan kepada bid'ah-bid'ah dan kesesatan-kesesatan yang ada pada kelompok itu sendiri, seperti Al- Qadariyah dan Al-Murji'ah ; atau dinisbatkan kepada para imam-nya seperti Al-Jahmiyah ; atau dinisbatkan pada pekerjaan-pekerjaannya yang kotor seperti Ar-Rafidhah dan Al-Khawarij. Adapun perbezaan yang kedua adalah bahwasanya mereka itu Ahlul Jama'ah kerana kesepakatan mereka untuk berpegang teguh dengan Al-Haq dan jauhnya mereka dari perpecahan. Berbeza dengan kelompok-kelompok lain, mereka tidak bersepakat untuk berpegang teguh dengan Al-Haq akan tetapi mereka itu hanya mengikuti hawa nafsu mereka, maka tidak ada kebenaran pada mereka yang mampu menyatukan mereka.

4. Bahwasanya kelompok ini adalah golongan yang ditolong Allah sampai hari kiamat. Kerana gigihnya mereka dalam menolong dinullah maka Allah menolong mereka, seperti difirmankan Allah :

"Jika kamu menolong Allah nescaya Allah akan menolong mereka". (Muhammad : 7) .


Oleh kerana itu pula Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda :

"Tidaklah yang menghina dan menentang mereka itu akan mampu memadlorotkan (membahayakan) mereka sampai datang keputusan Allah Tabaraka wa Ta'ala sedang mereka itu tetap dalam keadaan demikian". (Telah terdahulu keterangannya).

Sesungguhnynya Ahlus Sunnah wal Jama'ah berjalan di atas prinsip-prinsip yang jelas dan kukuh baik dalam itiqad, amal mahupun perilakunya. Seluruh prinsip-prinsip yang agung ini bersumber pada kitab Allah dan Sunnah Rasul- Nya dan apa-apa yang dipegang oleh para pendahulu umat dari kalangan sahabat, tabi'in dan para pengikut mereka yang setia.

AL-FIRQOTUN NAJIYAH ADALAH AHLUS SUNNAH WAL-JAMA'AH

AL-FIRQOTUN NAJIYAH ADALAH AHLUS SUNNAH WAL-JAMA'AH

Pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kaum muslimin adalah umat yang satu sebagaimana di firmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

" Sesungguhnya kalian adalah umat yang satu dan Aku (Allah) adalah Rab kalian, maka beribadahlah kepadaKU". (Al- Anbiyaa : 92).

Kaum Yahudi dan munafiqun berusaha memecah belah kaum muslimin pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun mereka tidak mampu melakukannya. Telah berkata kaum munafiq.

"Janganlah kamu berinfaq kepada orang-orang yang berada di sisi Rasulullah, supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)".

Yang kemudian dibantah oleh Allah :

"Padahal milik Allah-ah perbandaharaan langit dan bumi, akan tetapi orang-orang munafiq itu tidak memahami". (Al- Munafiqun : 7).

Demikian pula, kaum Yahudi pun berusaha memecah belah dan memurtadkan mereka dari Ad-Din mereka.

" Segolongan (lain) dari Ahli Kitab telah berkata (kepada sesamanya) : (pura-pura) berimanlah kamu kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (para sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah pada akhirnya, mudah mudahan (dengan cara demikian) mereka (kaum muslimin) kembali kepada kekafiran". (Ali Imran : 72).

Walaupun demikian, perancangan yang seperti itu tidak pernah berhasil kerana Allah membongkar dan menghinakan (usaha) mereka. Kemudian mereka berusaha untuk kedua kalinya untuk memecah belah persatuan kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar) dengan mengingatkan kaum Anshar tentang permusuhan di antara mereka sebelum datangnya Islam dan perang sya'ir diantara mereka. Allah membongkar perancangan tersebut dalam firman-Nya.

"Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian mengikuti segolongan orang orang yang diberi Al-Kitab niscaya mereka akan mengembalikan kalian menjadi orang kafir sesudah kalian beriman".(Ali Imran :100).

Sampai pada firman Allah.

" Pada hari yang di waktu itu ada wajah-wajah berseri-seri dan muram ....." (Ali-Imran : 106).

Maka kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi kaum Anshar : menasihati dan mengingatkan mereka nikmat Islam dan bersatunya merekapun melalui Islam, sehingga pada akhirnya mereka saling bersalaman dan berpelukan kembali setelah hampir terjadi perpecahan. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir I/397 dan Asbabun Nuzul Al-Wahidy hal. 149-150) . Dengan demikian gagallah pula perancangan Yahudi dan tetaplah kaum muslimin berada dalam persatuan. Allah memang memerintahkan mereka untuk bersatu di atas Al-Haq dan melarang perselisihan dan perpecahan sebagaimana firman-Nya.

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang berpecah belah dan beselisih sesudah datangnya keterangan yang jelas ......".(Ali-Imran : 105").

Dan firman-Nya pula.

" Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu berpecah-belah ....".(Ali- Imran : 103).

Dan sesungguhnya Allah telah mensyariatkan persatuan kepada mereka dalam melaksanakan berbagai macam ibadah : seperti shalat, dalam shiyam, dalam menunaikan haji dan dalam mencari ilmu. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam pun telah memerintahkan kaum muslimin ini agar bersatu dan melarang mereka dari perpecahan dan perselisihan. Bahkan baginda telah mengkhabarkan berita yang berisi anjuran untuk bersatu dan larangan untuk berselisih, yakni berita tentang akan terjadinya perpecahan pada umat ini sebagaimana hal tersebut telah terjadi pada umat-umat sebelumnya ; sabdanya.

"Sesunguhnya barangsiapa yang masih hidup diantara kalian dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnah- Ku dan sunnah Khulafaa'rasyiddin yang mendapat petunjuk setelah Aku". (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 5/4607 dan Tirmidzi 5/2676 dan Dia berkata hadits ini hasan shahih ; juga oleh Imam Ahmad 4/126-127 dan Ibnu Majah 1/43).

Dan sabdanya pula.

"Telah berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan ; dan telah berpecah kaum Nashara menjadi tujuh puluh dua golongan ; sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kami-pun bertanya, siapakah yang satu itu ya Rasulullah ..? ; baginda menjawab : iaitu barangsiapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani hari ini". (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi 5/2641 dan Al-Hakim di dalam Mustadraknya I/128-129, dan Imam Al-Ajury di dalam Asy-Syari'ah hal.16 dan Imam Ibnu Nashr Al-Mawarzy di dalam As- Sunnah hal 22-23 cetakan Yayasan Kutubus Tsaqofiyyah 1408, dan Imam Al-Lalikaai dalam Syar Ushul I'tiqaad Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah I nombor 145-147).

Sesungguhnya telah nyata apa-apa yang telah diberitakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka berpecahlah umat ini pada akhir generasi sahabat walaupun perpecahan tersebut tidak berdampak besar pada kondisi umat semasa generasi yang dipuji oleh Rasulullah dalam sabdanya.

"Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian generasi yang datang sesudahnya, kemudian yang datang sesudahnya". (Dikeluarkan oleh Bukhari 3/3650, 3651 dan Muslim 6/juz 16 hal 86- 87 Syarah An-Nawawy).



Perawi hadits ini berkata : "saya tidak tahu apakah Rasulullah menyebut setelah generasinya dua atau tiga kali". Yang demikian tersebut bisa terjadi kerana masih banyaknya ulama dari kalangan muhadditsin, mufassirin dan fuqaha. Mereka termasuk sebagai ulama tabi'in dan pengikut para tabi'in serta para imam yang empat dan murid-murid mereka. Juga disebabkan masih kuatnya daulah-dualah Islamiyah pada abad-abad tersebut, sehingga firqah-firqah menyimpang yang mulai ada pada waktu itu mengalami pukulan yang melumpuhkan baik dari segi hujjah maupun kekuatannya. Setelah berlalunya abad-abad yang dipuji ini bercampurlah kaum muslimin dengan pemeluk beberapa agama-agama yang bertentangan. Diterjemahkannya kitab ilmu ajaran-ajaran kuffar dan para raja Islam-pun mengambil beberapa kaki tangan pemeluk ajaran kafir untuk dijadikan menteri dan penasihat kerajaan, maka semakin dahsyatlah perselisihan di kalangan umat dan bercampurlah berbagai ragam golongan dan ajaran. Begitupun madzhab-madzhab yang batilpun ikut bergabung dalam rangka merusak persatuan umat. Hal itu terus berlangsung hingga zaman kita sekarang dan sampai masa yang dikehendaki Allah.

Walaupun demikian kita tetap bersyukur kepada Allah kerana Al-Firqatun Najiyah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah masih tetap berada dalam keadaan berpegang teguh dengan ajaran Islam yang benar berjalan diatasnya, dan menyeru kepadanya ; bahkan akan tetap berada dalam keadaan demikian sebagaimana diberitakan dalam hadits Rasulullah tentang keabadiannya, keberlangsungannya dan ketegarannya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah demi langgenggnya Din ini dan tegaknya hujjah atas para penentangnya. Sesungguhnya kelompok kecil yang diberkahi ini berada di atas apa-apa yang pernah ada semasa sahabat Radhiyallahu 'anhum bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam baik dalam perkataan perbuatan maupun keyakinannya seperti yang disabdakan oleh baginda.

" Mereka iaitu barangsiapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani hari ini" (Telah berlalu penjelasannya di atas -peny).

Sesungguhnya mereka itu adalah sisa-sisa yang baik dari orang-orang yang tentang mereka Allah telah berfirman.

"Maka mengapakah tidak ada dari umat-umat sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan (shalih) yang melarang dari berbuat kerusakan di muka bumi kecuali sebagian kecil diantara orangorang yang telah kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kemewahan yang ada pada mereka ; dan mereka adalah orangorangyang berdosa". (Huud : 116).

AL-FIRQOTUN NAJIYAH ADALAH AHLUS SUNNAH WAL-JAMA'AH

AL-FIRQOTUN NAJIYAH ADALAH AHLUS SUNNAH WAL-JAMA'AH


Pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kaum muslimin adalah umat yang satu sebagaimana di firmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala.


" Sesungguhnya kalian adalah umat yang satu dan Aku (Allah) adalah Rab kalian, maka beribadahlah kepadaKU". (Al- Anbiyaa : 92).


Kaum Yahudi dan munafiqun berusaha memecah belah kaum muslimin pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun mereka tidak mampu melakukannya. Telah berkata kaum munafiq.


"Janganlah kamu berinfaq kepada orang-orang yang berada di sisi Rasulullah, supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)".


Yang kemudian dibantah oleh Allah :


"Padahal milik Allah-ah perbandaharaan langit dan bumi, akan tetapi orang-orang munafiq itu tidak memahami". (Al- Munafiqun : 7).


Demikian pula, kaum Yahudi pun berusaha memecah belah dan memurtadkan mereka dari Ad-Din mereka.


" Segolongan (lain) dari Ahli Kitab telah berkata (kepada sesamanya) : (pura-pura) berimanlah kamu kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (para sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah pada akhirnya, mudah mudahan (dengan cara demikian) mereka (kaum muslimin) kembali kepada kekafiran". (Ali Imran : 72).


Walaupun demikian, perancangan yang seperti itu tidak pernah berhasil kerana Allah membongkar dan menghinakan (usaha) mereka. Kemudian mereka berusaha untuk kedua kalinya untuk memecah belah persatuan kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar) dengan mengingatkan kaum Anshar tentang permusuhan di antara mereka sebelum datangnya Islam dan perang sya'ir diantara mereka. Allah membongkar perancangan tersebut dalam firman-Nya.


"Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian mengikuti segolongan orang orang yang diberi Al-Kitab niscaya mereka akan mengembalikan kalian menjadi orang kafir sesudah kalian beriman".(Ali Imran :100).


Sampai pada firman Allah.


" Pada hari yang di waktu itu ada wajah-wajah berseri-seri dan muram ....." (Ali-Imran : 106).


Maka kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi kaum Anshar : menasihati dan mengingatkan mereka nikmat Islam dan bersatunya merekapun melalui Islam, sehingga pada akhirnya mereka saling bersalaman dan berpelukan kembali setelah hampir terjadi perpecahan. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir I/397 dan Asbabun Nuzul Al-Wahidy hal. 149-150) . Dengan demikian gagallah pula perancangan Yahudi dan tetaplah kaum muslimin berada dalam persatuan. Allah memang memerintahkan mereka untuk bersatu di atas Al-Haq dan melarang perselisihan dan perpecahan sebagaimana firman-Nya.


Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang berpecah belah dan beselisih sesudah datangnya keterangan yang jelas ......".(Ali-Imran : 105").


Dan firman-Nya pula.


" Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu berpecah-belah ....".(Ali- Imran : 103).


Dan sesungguhnya Allah telah mensyariatkan persatuan kepada mereka dalam melaksanakan berbagai macam ibadah : seperti shalat, dalam shiyam, dalam menunaikan haji dan dalam mencari ilmu. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam pun telah memerintahkan kaum muslimin ini agar bersatu dan melarang mereka dari perpecahan dan perselisihan. Bahkan baginda telah mengkhabarkan berita yang berisi anjuran untuk bersatu dan larangan untuk berselisih, yakni berita tentang akan terjadinya perpecahan pada umat ini sebagaimana hal tersebut telah terjadi pada umat-umat sebelumnya ; sabdanya.


"Sesunguhnya barangsiapa yang masih hidup diantara kalian dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnah- Ku dan sunnah Khulafaa'rasyiddin yang mendapat petunjuk setelah Aku". (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 5/4607 dan Tirmidzi 5/2676 dan Dia berkata hadits ini hasan shahih ; juga oleh Imam Ahmad 4/126-127 dan Ibnu Majah 1/43).


Dan sabdanya pula.


"Telah berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan ; dan telah berpecah kaum Nashara menjadi tujuh puluh dua golongan ; sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kami-pun bertanya, siapakah yang satu itu ya Rasulullah ..? ; baginda menjawab : iaitu barangsiapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani hari ini". (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi 5/2641 dan Al-Hakim di dalam Mustadraknya I/128-129, dan Imam Al-Ajury di dalam Asy-Syari'ah hal.16 dan Imam Ibnu Nashr Al-Mawarzy di dalam As- Sunnah hal 22-23 cetakan Yayasan Kutubus Tsaqofiyyah 1408, dan Imam Al-Lalikaai dalam Syar Ushul I'tiqaad Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah I nombor 145-147).


Sesungguhnya telah nyata apa-apa yang telah diberitakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka berpecahlah umat ini pada akhir generasi sahabat walaupun perpecahan tersebut tidak berdampak besar pada kondisi umat semasa generasi yang dipuji oleh Rasulullah dalam sabdanya.


"Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian generasi yang datang sesudahnya, kemudian yang datang sesudahnya". (Dikeluarkan oleh Bukhari 3/3650, 3651 dan Muslim 6/juz 16 hal 86- 87 Syarah An-Nawawy).



Perawi hadits ini berkata : "saya tidak tahu apakah Rasulullah menyebut setelah generasinya dua atau tiga kali". Yang demikian tersebut bisa terjadi kerana masih banyaknya ulama dari kalangan muhadditsin, mufassirin dan fuqaha. Mereka termasuk sebagai ulama tabi'in dan pengikut para tabi'in serta para imam yang empat dan murid-murid mereka. Juga disebabkan masih kuatnya daulah-dualah Islamiyah pada abad-abad tersebut, sehingga firqah-firqah menyimpang yang mulai ada pada waktu itu mengalami pukulan yang melumpuhkan baik dari segi hujjah maupun kekuatannya. Setelah berlalunya abad-abad yang dipuji ini bercampurlah kaum muslimin dengan pemeluk beberapa agama-agama yang bertentangan. Diterjemahkannya kitab ilmu ajaran-ajaran kuffar dan para raja Islam-pun mengambil beberapa kaki tangan pemeluk ajaran kafir untuk dijadikan menteri dan penasihat kerajaan, maka semakin dahsyatlah perselisihan di kalangan umat dan bercampurlah berbagai ragam golongan dan ajaran. Begitupun madzhab-madzhab yang batilpun ikut bergabung dalam rangka merusak persatuan umat. Hal itu terus berlangsung hingga zaman kita sekarang dan sampai masa yang dikehendaki Allah.


Walaupun demikian kita tetap bersyukur kepada Allah kerana Al-Firqatun Najiyah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah masih tetap berada dalam keadaan berpegang teguh dengan ajaran Islam yang benar berjalan diatasnya, dan menyeru kepadanya ; bahkan akan tetap berada dalam keadaan demikian sebagaimana diberitakan dalam hadits Rasulullah tentang keabadiannya, keberlangsungannya dan ketegarannya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah demi langgenggnya Din ini dan tegaknya hujjah atas para penentangnya. Sesungguhnya kelompok kecil yang diberkahi ini berada di atas apa-apa yang pernah ada semasa sahabat Radhiyallahu 'anhum bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam baik dalam perkataan perbuatan maupun keyakinannya seperti yang disabdakan oleh baginda.


" Mereka iaitu barangsiapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani hari ini" (Telah berlalu penjelasannya di atas -peny).


Sesungguhnya mereka itu adalah sisa-sisa yang baik dari orang-orang yang tentang mereka Allah telah berfirman.


"Maka mengapakah tidak ada dari umat-umat sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan (shalih) yang melarang dari berbuat kerusakan di muka bumi kecuali sebagian kecil diantara orangorang yang telah kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kemewahan yang ada pada mereka ; dan mereka adalah orangorangyang berdosa". (Huud : 116).

Wednesday, June 17, 2009

ASHABUL HADITH


Sesungguhnya tidak ada keselamatan kecuali dengan mengikuti Kitab dan Sunnah dengan pemahaman salaful ummah. Tapi kita tidak mungkin mendengar sunnah dan pemahaman mereka kecuali dengan melalui sanad (rantai para rawi). Dan sanad termasuk dalam Dien. Maka lihatlah dari siapa kalian mengambil Dien kalian. Sedangkan yang paling mengerti tentang sanad adalah Ahlul Hadits. Maka dalam tulisan ini kita akan lihat betapa tingginya kedudukan mereka.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:


نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَبَلَّغَهُ


“Allah membuat cerah (muka) seorang yang mendengarkan (hadits) dari kami, kemudian menyampaikan nya.” (Hadits Shahih, HR. Ahmad, Abu Dawud)


Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah berkata: “Hadits ini adalah SHAHIH, diriwayatkan oleh: Imam Ahmad dalam Musnad 5/183, Imam Abu Dawud dalam As-Sunan 3/322, Imam Tirmidzi dalam As-Sunan 5/33, Imam Ibnu Majah dalam As-Sunan 1/84, Imam Ad-Darimi dalam As-Sunan 1/86, Imam Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunan 1/45, Ibnu Abdil Barr dalam Jami Bayanil Ilmi wa Fadhlihi 1/38-39, lihat As-Shahihah oleh Al-’Allamah Al-Albani (404) yang diriwayatkan dari banyak jalan sampai kepada Zaid bin Tsabit, Jubair bin Muth’im, dan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhum.”


Hadits ini dinukil oleh beliau (Syaikh Rabi’) dalam kitab kecil yang berjudul Makanatu Ahlil Hadits (Kedudukan Ahlul Hadits), iaitu ketika menukil ucapan Imam besar Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Khatib Al-Baghdadi (wafat 463 H) dari kitabnya Syarafu Ashabil Hadits yang ertinya “Kemuliaan Ashabul Hadits.” Dalam kitab tersebut, beliau menjelaskan kemuliaan dan ketinggian derajat Ahlul Hadits. Demikian pula beliau juga menjelaskan jasa-jasa mereka dan usaha mereka dalam membela Dien ini, serta menjaganya dari berbagai macam bid’ah. Di antara pujian beliau kepada mereka, beliau mengatakan: “Sungguh Allah telah menjadikan golongannya (Ahlul Hadits) sebagai tonggak syari’at. Melalui usaha mereka, Dia (Allah) menghancurkan setiap keburukan bid’ah. Merekalah kepercayaan Allah di antara makhluk-makhluk-Nya, sebagai perantara antara Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan umatnya. Dan merekalah yang bersungguh-sungguh dalam menjaga millah (Dien)-Nya. Cahaya mereka terang, keutamaan mereka merata, tanda-tanda mereka jelas, madzhab mereka unggul, hujjah mereka tegas….”
Setelah mengutip hadits di atas, Al-Khatib rahimahullah menukil ucapan Sufyan bin Uyainah rahimahullah dengan sanadnya bahwa dia mengatakan: “Tidak seorangpun mencari hadits (mempelajari hadits) kecuali pada mukanya ada kecerahan karena ucapan Nabi shallallahu alaihi wa sallam: (kemudian menyebutkan hadits di atas). Kemudian, setelah meriwayatkan hadits-hadits tentang wasiat Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk memuliakan Ashabul Hadits, beliau meriwayatkan hadits berikut:

بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ

“Islam dimulai dengan keasingan dan akan kembali asing, maka berbahagialah orang-orang yang (dianggap) asing.” (HR. Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Syaikh Rabi’ berkata: “Hadits ini SHAHIH. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya 1/130, Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/398, Imam Tirmidzi dalam Sunannya 5/19, Imam Ibnu Majah dalam Sunnahnya 2/1319, dan Imam Ad-Darimi dalam Sunannya 2/402.”
Setelah meriwayatkan hadits ini, Al-Khatib menukil ucapan Abdan rahimahullah dari Abu Hurairah dan Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu: “Mereka adalah Ashabul Hadits yang pertama.”
Kemudian meriwayatkan hadits:

“Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh sekian firqah, semuanya dalam neraka kecuali satu.”

Syaikh Rabi’ berkata: “Hadits SHAHIH, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad 2/332. Imam Abu Dawud dalam Sunan 4/197, dan Hakim dalam Mustadrak 1/128. Lihat Ash-Shahihah oleh Syaikh kita, Al-’Allamah Al-Albani (203).”

Beliau (Al-Khatib) kemudian mengucapkan dengan sanadnya sampai ke Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah bahwa dia berkata: “Tentang golongan yang selamat, kalau mereka bukan Ahlul Hadits, saya tidak tahu siapa mereka.” (Hal 13, Syarafu Ashhabil Hadits oleh Al-Khatib).
Kemudian Syaikh Al-Khatib menyebutkan hadits tentang thaifah yang selalu tegak dengan kebenaran:

“Akan tetap ada sekelompok dari umatku di atas kebenaran. Tidak merugikan mereka orang-orang yang mengacuhkan (membiarkan, tidak menolong) mereka sampai datangnya hari kiamat.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud)

Syaikh Rabi’ berkata: “Hadits ini SHAHIH, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya 3/1523, Imam Ahmad dalam Musnad 5/278-279, Imam Abu Dawud dalam Sunan 4/420, Imam Ibnu Majah dalam Sunan 1/4-5, Hakim dalam Mustadrak 4/449-450, Thabrani dalam Mu’jamul Kabir 7643, dan At-Thayalisi dalam Musnad hal. 94 No. 689. Lihat As-Shahihah oleh Al-’Allamah Al-Albani 270-1955.”

Kemudian berkata (Al-Khatib Al-Baghdadi): Yazid bin Harun berkata: “Kalau mereka bukan Ashabul Hadits, aku tidak tahu siapa mereka.” Setelah itu, beliau meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Abdullah bin Mubarak, dia berkata: “Mereka, menurutku, adalah Ashabul Hadits.” Kemudian meriwayatkan juga dengan sanadnya dari Imam Ahmad bin Sinan dan Ali Ibnul Madini bahwa mereka berkata: “Sesungguhnya mereka adalah Ashabul Hadits, ahli Ilmu, dan Atsar.” (Hal. 14-15)

Demikianlah, para ulama mengatakan bahwa Firqah Najiyah (golongan yang selamat) yaitu golongan yang selalu tegak dengan kebenaran dan selalu ditolong (Thaifah Manshurah), yaitu orang-orang yang asing (Ghuraba’) di tengah-tengah kaum muslimin yang sudah tercemar dengan berbagai macam bid’ah dan penyelewengan dari manhaj As-Sunnah adalah Ashabul Hadits.

Siapakah Ashabul Hadits?

Hadits yang pertama yang kita sebut menunjukkan ciri khas Ashabul Hadits, iaitu mendengarkan hadits dan menyampaikannya. Dengan demikian, mereka boleh kita katakan sebagai para ulama yang mempelajari hadits, memahami sanad, meneliti mana yang shahih mana yang dhaif, kemudian mengamalkannya dan menyampaikannya. Merekalah pembela-pembela As-Sunnah, pemelihara Dien dan pewaris Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Rasulullah tidak mewariskan dirham atau dinar, tetapi mewariskan ilmu yang kemudian dibawa oleh Ahlul Hadits ini. Seorang Ahli Fiqih tanpa ilmu hadits adalah Aqlani (rasionalis) dan Ahli Tafsir tanpa ilmu hadits adalah Ahli Takwil.

Imam Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah (wafat 276 H) berkata: “… Adapun Ashabul Hadits, sesungguhnya mereka mencari kebenaran dari sisi yang benar dan mengikutinya dari tempatnya. Mereka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mengikuti sunnah Rasul-Nya serta mencari jejak-jejak dan berita-beritanya (Hadits, red.), baik itu di darat dan di laut, di Timur maupun di Barat. Salah seorang dari mereka (bahkan) mengadakan perjalanan jauh dengan berjalan kaki hanya untuk mencari satu berita atau satu hadits, agar dia mengambilnya langsung dari penukilnya (secara dialog langsung). Mereka terus menyaring dan membahas berita-berita (riwayat-riwayat) tersebut sampai mereka memahami mana yang shahih dan mana yang lemah, yang nasikh dan yang mansukh, dan mengetahui siapa-siapa dari kalangan fuqaha yang menyelisihi berita-berita tersebut dengan pendapatnya (ra’yunya), lalu memperingatkan mereka.
Dengan demikian, Al-Haq yang tadinya redup menjadi bercahaya, yang tadinya bercerai-berai menjadi terkumpul. Demikian pula, orang-orang yang tadinya menjauh dari sunnah menjadi terikat dengannya, yang tadinya lalai menjadi ingat padanya, dan yang dulunya berhukum dengan ucapan fulan bin fulan menjadi berhukum dengan ucapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” (Ta’wil Mukhtalafil Hadits dalam Muqaddimah)

Imam Abu Hatim Muhammad Ibnu Hibban bin Muadz bin Ma’bad bin Said At-Tamimi (wafat 354 H) berkata: “…Kemudian Allah memilih sekelompok manusia dari kalangan pengikut jalan yang baik dalam mengikuti sunnah dan atsar untuk memberi petunjuk kepada mereka agar selalu taat kepada-Nya. Allah indahkan hati-hati mereka dengan keimanan, dan memberikan pada lisan-lisan mereka Al-Bayan (keterangan), iaitu mereka yang menyingkap rambu-rambu Dien-Nya, mengikuti sunnah-sunnah nabi-Nya dengan menelusuri jalan-jalan yang panjang, meninggalkan keluarga dan negerinya, untuk mengumpulkan sunnah-sunnah dan menolak hawa nafsu (bid’ah). Mereka memperdalam sunnah dengan menjauhi ra’yu …” Pada akhirnya, beliau mengatakan: “Hingga Allah memelihara Dien ini lewat mereka untuk kaum muslimin dan melindunginya dari rongrongan para pencela. Allah menjadikan mereka sebagai imam-imam (panutan-panutan) yang mendapatkan petunjuk di saat terjadi perselisihan dan menjadikan mereka sebagai pelita malam di kala terjadi fitnah. Maka merekalah pewaris-pewaris para nabi dan orang-orang pilihan…” (Al-Ihsan 1/20-23)

Imam Abu Muhammad Al-Hasan Ibnu Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramhurmuzi (wafat 360 H) berkata: “Allah telah memuliakan hadits dan memuliakan golongannya (Ahlul Hadits). Allah juga meninggikan kedudukannya dan hukumnya di atas seluruh aliran. Didahulukannya ia (hadits) di atas semua ilmu serta diangkatnya nama-nama para pembawanya yang memperhatikannya. Maka jadilah mereka (Ahlul Hadits) inti agama dan tempat bercahayanya hujjah. Bagaimana mereka tidak mendapatkan keutamaan dan tidak berhak mendapatkan kedudukan tinggi, sedangkan mereka adalah penjaga-penjaga Dien ini atas umatnya…” (Al-Muhadditsul Fashil 1-4)

Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah Al-Hakim An-Naisaburi (wafat 405) berkata setelah meriwayatkan dengan sanadnya dua ucapan tentang Ahlul Hadits (yang artinya): Umar bin Hafs bin Gayyats berkata: Aku mendengar ayahku ketika dikatakan kepadanya: “Tidaklah engkau melihat Ashabul Hadits dan apa yang ada pada mereka?” Dia berkata: “Mereka sebaik-baik penduduk bumi.” Dan riwayat dari Abu Bakar bin Ayyasy: “Sungguh aku berharap Ahli Hadits adalah sebaik-baik manusia.” Kemudian beliau (Abu Abdullah Al-Hakim) berkata: “Keduanya telah benar bahwa Ashabul Hadits adalah sebaik-baik manusia. Bagaimana tidak demikian? Mereka telah mengorbankan dunia seluruhnya di belakang mereka. Kemudian menjadikan penulisan sebagai makanan mereka, penelitian sebagai hidangan mereka, mengulang-ulang sebagai istirahat mereka…” Dan akhirnya beliau mengatakan: “Maka akal-akal mereka dipenuhi dengan kelezatan kepada sunnah. Hati-hati mereka diramaikan dengan keridhaan dalam segala keadaan. Kebahagiaan mereka adalah mempelajari sunnah. Hobi mereka adalah majelis-majelis ilmu. Saudara mereka adalah seluruh Ahlus Sunnah dan musuh mereka adalah seluruh Ahlul Ilhad dan Ahlul Bid’ah.” (Ma’rifatu Ulumul Hadits 1-4)

Berkata Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali tentang Ashabul Hadits: “Mereka adalah orang-orang yang menjalani manhaj para shahabat dan tabi’in, yang mengikuti mereka dengan ihsan dalam berpegang dengan Kitab dan Sunnah, dan menggigit keduanya dengan geraham mereka, mendahulukan keduanya di atas semua ucapan dan petunjuk, apakah itu dalam masalah akidah, ibadah, mu’amalah, akhlak, politik, ataukah sosial.

Oleh sebab itu, mereka adalah orang-orang yang mantap dalam dasar-dasar dan cabang-cabang Dien ini, sesuai dengan apa yang Allah turunkan dan wahyukan kepada Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam dan para hamba-Nya. Mereka tegak dalam dakwah, mengajak kepada yang demikian dengan sungguh-sungguh dan jujur dengan tekad yang kuat. Merekalah pembawa-pembawa ilmu Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan membersihkannya dari penyelewengan orang-orang yang melampaui batas, dari kedustaan-kedustaan orang-orang bathil dan dari takwil-takwilnya orang-orang bodoh. Oleh karena itu, mereka selalu mengintai, memperhatikan setiap firqah-firqah yang menyeleweng dari manhaj Islam seperti Jahmiyyah, Mu’tazilah, Khawarij, Rafidhah, Murji’ah, Qadariyyah, dan setiap firqah yang menyempal dari manhaj Allah di setiap zaman dan di setiap tempat. Mereka tidak peduli dengan celaan orang-orang yang mencela…”

Beliau pun akhirnya menyebut mereka sebagai golongan yang selamat (Firqah Najiyah) yang selalu tegak dengan kebenaran dan selalu ditolong oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala (Thaifah Manshurah) kemudian berkata: “Mereka, setelah shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan pimpinan mereka Al-Khulafa’ur Rasyidin, adalah para tabi’in. Di antara tokoh-tokoh mereka adalah:

Pembelaan Mereka terhadap Aqidah

Sebagaimana telah disebutkan di atas, mereka adalah pembawa ilmu dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka membelanya dan membersihkannya dari penyelewengan, kedustaan, dan takwil-takwil Ahli Bid’ah.

Maka, ketika muncul Ahli Bid’ah yang pertama yaitu Khawarij, Ali radhiallahu anhu dan para shahabat bangkit membantah mereka, kemudian memerangi mereka dan mengambil dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam riwayat-riwayat yang menyuruh untuk membunuh mereka dan mengkhabarkan bahwa membunuh mereka adalah sebaik-baik pendekatan diri kepada Allah. (Lihat Mawaqifus Shahabah fil Fitnah Bab 3 juz 2 hal 191 oleh Dr Muhammad Ahmazun)

Ketika Syiah muncul, Ali radhiallahu anhu mencambuk orang-orang yang mengatakan dirinya lebih baik daripada Abu Bakar dan Umar dengan delapan puluh kali cambukan. Dan orang-orang ekstrim dari kalangan mereka yang mengangkat Ali sampai ke tingkat Uluhiyyah (ketuhanan), dibakar dengan api. (lihat Fatawa Syaikhul Islam)

Demikian pula ketika sampai kepada Abdullah bin Umar radhiallahu anhu berita tentang suatu kaum yang menafikan (menolak) takdir dan mengatakan bahwa menurut mereka perkara ini terjadi begitu saja (kebetulan), beliau mengatakan kepada pembawa berita tersebut: “Jika engkau bertemu mereka, khabarkanlah pada mereka bahwa aku berlepas diri (bara`) dari mereka dan mereka berlepas diri dariku! Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalau salah seorang mereka memiliki emas segunung Uhud, kemudian diinfaqkan di jalan Allah, Allah tidak akan menerima daripadanya sampai dia beriman dengan taqdir baik dan buruknya.” (HR. Muslim 1/36)

Imam Malik pun ketika ditanya tentang orang yang mengatakan bahwa Al-Qur`an itu makhluk, maka beliau berkata: “Dia menurut pendapat adalah kafir, bunuhlah dia!” Juga Ibnul Mubarak, Al-Laits bin Sa’d, Ibnu Uyainah, Hasyim, Ali bin Ashim, Hafs bin Gayats maupun Waqi bin Jarrah sependapat dengannya. Pendapat yang seperti ini juga diriwayatkan dari Imam Tsauri, Wahab bin Jarir dan Yazid bin Harun. (Mereka semua mengatakan): orang-orang itu diminta untuk taubat. Kalau tidak mau, dipenggal kepala mereka. (Syarah Ushul I’tikad 494, Khalqu Af’alil Ibad hal 25, Asy’ariyah oleh Al-Ajuri hal 79, dan Syarhus Sunnah/Al-Baghawi 1/187)
Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi, shahabat Imam Syafi’i, berkata: “Ketika Haf Al-Fardi mengajak bicara Imam Syafi’i dan dia mengatakan Al-Qur`an itu makhluk, maka Imam berkata kepadanya: ‘engkau telah kafir kepada Allah yang maha Agung.” Imam Malik pernah ditanya tentang bagaimana istiwa` Allah di atas ‘Arsy-Nya, maka dia mengatakan: “Istiwa` sudah diketahui (maknanya), sedangkan bagaimananya tidak diketahui. Dan pertanyaan tentang itu adalah bid’ah dan aku tidak melihatmu kecuali Ahli Bid’ah!” Kemudian (orang yang bertanya itu) diperintahkan untuk keluar dan beliau menegaskan bahwa sesungguhnya Allah itu di langit. Dan beliau juga pernah mengeluarkan seseorang dari majelisnya karena dia seorang Murji’ah. (Syarah Ushul I’tiqad 664)

Said bin Amir berkata: “Al-Jahmiyyah lebih jelek ucapannya daripada Yahudi dan Nasrani. Yahudi dan Nasrani dan seluruh penganut agama (samawi) telah sepakat bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala di atas Arsy-Nya, tapi mereka (Al-Jahmiyyah) mengatakan tidak ada sesuatu pun di atas Arsy.” (Khalqu Af’alil Ibad hal 15)

Ibnul Mubarak berkata: “Kami tidak mengatakan seperti ucapan Jahmiyyah bahwa Dia (Allah) itu di bumi. Tetapi (kami katakan) Allah di atas Arsy-Nya beristiwa.” Ketika ditanyakan kepadanya: “Bagaimana kita mengenali Rabb kita?” Beliau berkata: “Di atas Arsy… Sesungguhnya kami bisa mengkisahkan ucapan Yahudi dan Nasrani, tapi kami tidak mampu untuk mengkisahkan ucapan Jahmiyyah.” (Khalqu Af’alil Ibad/Bukhari hal 15, As-Sunnah/Abdullah bin Ahmad bin Hambal 1/111 dan Radd Alal Jahmiyyah/Ad-Darimi hal. 21 dan 184)

Imam Bukhari berkata: “Aku telah melihat ucapan Yahudi, Nasrani dan Majusi. Tetapi aku tidak melihat yang lebih sesat dalam kekufuran selain mereka (Jahmiyah) dan sesungguhnya aku menganggap bodoh siapa yang tidak mengkafirkan mereka kecuali yang tidak mengetahui kekufuran mereka.” (Khalqu Af’alil Ibad hal 19)

Dikeluarkan oleh Baihaqi dengan sanad yang baik dari Al-Auza’i bahwa dia berkata: “Kami dan seluruh tabi’in mengatakan bahwa sesungguhnya Allah di atas Arsy-Nya dan kami beriman dengan sifat-sifat yang diriwayatkan dalam sunnah.” Abul Qasim menyebutkan sanadnya sampai ke Muhammad bin Hasan As-Syaibani bahwa dia berkata: “Seluruh fuqaha (ulama) di timur dan di barat telah sepakat atas keimanan kepada Al-Qur`an dan Al-Hadits yang dibawa oleh rawi-rawi yang tsiqah (terpercaya) dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang sifat-sifat Rabb Subhanahu wa Ta’ala tanpa tasybih (penyerupaan) dan tanpa tafsir (takwil). Barangsiapa menafsirkan sesuatu daripadanya dan mengucapkan seperti ucapan Jahm (bin Sufyan), maka dia telah keluar dari apa yang ada di atasnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabatnya, dan dia telah memisahkan diri dari Al-Jama’ah karena telah mensifati Allah dengan sifat yang tidak ada.” (Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah 740)
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Manaqib Syafi’i dari Yunus bin Abdul A’la: Aku mendengar Imam Syafi’i berkata: “Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang tidak seorangpun bisa menolaknya. Barangsiapa yang menyelisihinya setelah tetap (jelas) baginya hujjah, maka dia telah kafir. Adapun jika (menyelisihinya) sebelum tegaknya hujjah, maka dia dimaklumi karena bodoh. Karena ilmu tentangnya tidak bisa dicapai dengan akal dan mimpi. Tidak pula dengan pemikiran.
Oleh sebab itu, kami menetapkan sifat-sifat ini dan menafikan tasybih sebagaimana Allah menafikan dari dirinya sendiri.” (Lihat Fathul Bari 13/406-407)
Abu Isa Muhammad bin Isa At-Tirmidzi berkata setelah meriwayatkan hadits tentang Allah menerima sedekah dengan tangan kanannya (muttafaqun alaih), katanya: “Tidak hanya satu dari Ahli Ilmu (ulama) yang telah berkata tentang hadits ini dan yang mirip dengan ini dari riwayat-riwayat tentang sifat-sifat Allah seperti turunnya Allah tabaraka wa Ta’ala setiap malam ke langit dunia. Mereka semuanya mengatakan: Telah tetap riwayat-riwayat tentangnya, diimani dengannya, tidak menduga-duga dan tidak mengatakan “bagaimana”. Demikian pula ucapan seluruh ahli ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
Demikianlah contoh ucapan-ucapan mereka dalam menjaga dan membela aqidah ini yang bersumber dari Al-Qur`an dan Sunnah. Al-Khatib Al-Baghdadi rahimahullah menukil dari Abu Hatim dari Abdullah bin Dawud Al-Khuraibi bahwa Ashabul Hadits dan pembawa-pembawa ilmu adalah kepercayaan-kepercayaan Allah atas Dien-Nya dan penjaga-penjaga sunnah nabi-Nya, selama mereka berilmu dan beramal. Ditegaskan oleh Imam Ats-Tsauri rahimahullah: “Malaikat adalah penjaga-penjaga langit dan Ashabul Hadits adalah penjaga-penjaga dunia.” Ibnu Zurai’ rahimahullah juga menambahkan: “Setiap Dien memiliki pasukan berkuda. Maka pasukan berkuda dalam Dien ini adalah Ashabul Asanid (Ahlul Hadits).” Mereka memang benar. Ashabul Hadits adalah pasukan inti dalam Dien ini. Mereka membela dan menjaga Dien dari penyelewengan, kesesatan dan kedustaan orang-orang munafiqin dan Ahlul Bid’ah. Hampir semua Ashabul Hadits menulis kitab-kitab tentang aqidah Ahlus Sunnah serta membantah aqidah dan pemahaman-pemahaman bid’ah dan sesat, baik itu fuqaha (ahli fiqih) mereka, mufasir (ahli tafsir) mereka maupun seluruh ulama-ulama dari kalangan mereka (Ahlul Hadits). Semoga Allah memberi pahala bagi mereka dengan amalan-amalan mereka, dan memberi pahala atas usaha mereka yang sampai hari dirasakan manfaatnya oleh kaum muslimin dengan ilmu-ilmu yang mereka tulis, riwayat-riwayat yang mereka kumpulkan dan hadits-hadits yang mereka periksa.

Akhirnya, marilah kita semak perkataan Imam Syafi’i rahimahullah ini: “Jika aku melihat seseorang dari Ashabul Hadits, maka aku seakan-akan melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam hidup kembali.” (HR. Al-Khatib dengan sanad SHAHIH, Syaraf Ashabul Hadits hal 26)

Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang lebih dulu beriman daripada kami. Dan janganlah Kau jadikan di hati kami kebencian atau kedengkian kepada mereka. Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun dan Maha Penyayang.
Amien ya rabbal ‘alamin.